Senin, 29 September 2008

mat lebaran

Minal aidin wal faidjin
mohon maaf lahir dan bathin
Mat lebaran ku ucapkan:
ke seluruh keluarga dan sahabatku

dan maafkan ya salah dan perilaku ku
dari aku
juster andika meliala

Rabu, 17 September 2008

Pengumuman anak desa ndaukum sirongga surbakti

kerja tahun, tahun enda akan ilaksanaken
tangal 13-14 oktober 2008

mari kita ras2 pesikap kuta kemulihenta

Perbunga ndap ndap

Perbunga ndap ndap

"perbunga ndap ndap mejile sibar2 ni tatap"

bagi persora kap-kap ni tarik2 maka erkap kap
enggo keri belembang penayani taruna ercikurak
bagi perjabu tengah, rubati kaus- kemuhen
bage maka akapna meriah

adi rubati kita ras anak kuta, em tandana metuda
adi rubati kita ras teman meriah, em tandana rahasia mudah terbongkar
adi rubati kita ras turang, em tandana la meteh mehuli
adi rubati kita ras anak jabu, em tandana kita percemburu
adi rubati kita ras orang tua, em kebilangen ibas dibata
adi rubati kita ras senina, em tandana la meteh mehuli
bagemdam turi-turin
"perbunga ndap ndap"
mejile sibar ni tatap

Selamat Sukses
kepada

1. Terminal purba (bang RE) SH
(anak desa Bunuraya kesain rumah Mbaru kec.tigapanah)

yang telah menyelesaikan pendidikan di Universitas Santhomas Medan
dengan gelar: Sarjana Hukum
dan telah dikukuhkan
pada tanggal 30 juli 2008 lalu
tempat: Hotel Danau Toba Internasional Medan


2.Ricardo Tarigan.Amd
(anak desa kutambungga kec.Tigalingga)
dan telah dikukuhkan di bandung pada tanggal 7 agustus 2008 lalu

3.Roni Lumbarta Sitepu S.Com
dan telah dikukuhkan di universitas gajah mada yogyakarta


"semoga ilmu dapat bermanfaat bagi gereja dan bangsa serta muliakanlah Tuhan Yesus dengan segenap talenta yang diberikan kepadamu dan layanilah Tuhan, tetap rendah hati Tuhan yesus menberkati dan semoga ilmu yang diperoleh dapat dipergunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan dan kemuliaan nama Tuhan saja dan semoga sukses serta teruskan cita citamu"


Teriring Salam Dari saya adikmu
Jhuster Andika Syahputra Sembiring Meliala

Kamis, 11 September 2008

bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku telah mengangkat tumitnya terhadap aku
(41-11) Tetapi Engkau, ya TUHAN, kasihanilah aku dan tegakkanlah aku, maka aku hendak mengadakan pembalasan terhadap mereka. dengan demikian aku tahu, bahwa engkau berkenan kepadaku, apabila musuhku tidak bersorak sorai karena aku
tetapi aku, engkau menopang aku karena ketulusanku, engkau menbuat aku tegak di hadapanMu untuk selama lamanya
terpujilah TUHAn allah israel, dari selama lamanya samapai selama lamanya AMIEN


enda lah ayat sikudarami bas alkitap untuk mindo maaf man kam kk
adi enda pe la termaafkendu
lanai kueteh nari

Bagi sinukur babi

SANG DUDA
Oleh Ita Apulina

Ibuku yang sudah pensiun membuka warung kecil di rumah, katanya biar ada kesibukan. Tetapi kesibukan Ibu ini menjadi kesibukanku juga. Kalau dia pergi kerja-kerja atau mengunjungi keluarga kami di lain kota, aku dan adikku harus bergantian menjaga warungnya. Warung Ibu gado-gado, selain menjual sembako dan kebutuhan lainnya, juga menjadi kede kopi.

Kejadian siang inilah yang mau kuceritakan. Belakangan ini ada seorang perbapaan status duda (sebenarnya teman kantor Bapak dulu) kami rajin sekali berkunjung. Barus mergana. Dia berkunjung untuk berkonsultasi mendapatkan pasangan hidup yang baru. Konsultannya ibuku. Biasanya, kalau Pak Barus sudah datang, aku dan adikku langsung menyelinap ke dalam rumah.

Sekali ini Ibu tidak ada, tentu saja kami harus menghadapinya. Mana Mamak kalian,' katanya sambil mengunci kereta. 'Ke Kabanjahe, Kila, kata adikku. Kai kin ndai , katanya lagi. Si Kila Barus ini langsung duduk dan minta minum. Setelah basa-basi, tiba-tiba Kila ini mengeluarkan selembar kertas dari kantong jaketnya.

"Nendu, cuba Permen, enda lit 9 diberu si enggo ras kami ngerana-ngerana tah pe gawah-gawah. Si nomor 8 ena denga ngena kuemma," katanya. Aku bingung sekali bagaimana harus menjawabnya. Di dafatarnya itu ada nama, alamat status (status dalam arti gadis atau janda). Adikku sudah membuang muka, dari bahunya yang bergoncang aku tahu benar dia cekikikan. Kebanyakan beru Ginting yang ada di listnya itu.

Tidak tahu aku jengah, si Kila ini terus saja ngoceh. "Si nomor 1 enda mejile, tapi sakit usur. Nina Dokter man bana adi banci ulanai erjabu," katanya. Aku menelan ludah." Si nomor 3 enda pe mejile. Cuma, mbue utangna. Sange ndai masuk penjara dilakina perban terdat mbaba ganja, utangina sen kalak gelah banci pedarat dilakina ah ndai. Lenga seminggu ndarat mate, a enggo ka nambah utang. Encage, 2 minggu kemudian mate simetuana, tambah ka utangna. Seminggu kemudian mate ka nandena, tambah ka utang.Telu minggu enca si e, keguguren ia, iyakkk...lalap tambah utangna. Man kadeku ngempoi diberu simbue utangna," katanya sambil erkekeh. Aku berniat menyiram mukanya dengan kopi panasku, tapi masih kutahan.

Dia terus mengoceh. "Si nomor 8 enda ateku si ngenana. Enggo ndekah kami ngerana e, enggo kuemma pe. Mejile kel rupana, bidan ia. Tapi 3 anakna dilaki, sangana sekolah kerina. Emaka la surung, lang seh kel jilena. Kita ka kari beratina ndarami uang sekolah anakna, man kadeku pe lang," kisahnya santai. Aku masih mencoba bersabar, lalu aku tanya, si Nomor 3 uga Kila? Dia tadi melompati keterangan tentang si Nomor 3. "Sitek kel pe aku la selera, kurang kuakap jilena, lang singuda-nguda nge min. E kap maka si nomor 9 ena pe la surung, ngudasa denga, 29 tahun denga lang pe kertangsa kuakap," katanya.

Oh....habislah sabarku dengan Kila ini. "Mejile kel kap bibi mbarenda me Kila, maka mesera kel mbuat atendu ngena," kataku. "Labo min bage, Permen. Cuma adi peduakaliken kita empo, si terjilen ka min ateku," katanya ceria. "Enda pe sekale lit kang man nehenenku e. Lit jenda nina ka ndai kalak ertelepon mari nen nina," tambahnya.

Nah...lho....aku tidak salah, kan kalau akhirnya meledak. Lalu aku bilang: Pas kel banndu bagi nukur babi, me.

ulih

U L I H
Averiana Barus*


Hujan tampaknya tak perduli dengan perasaan Ulih. Dari tadi dia terus-menerus membanjiri hati Ulih tanpa kompromi. Hujan sore itu mengantarkannya pada kenangan lima belas tahun lalu ketika dia masih kecil. Ulih tak pernah sekolah. Ketika itu dia juga belum mengenal Lias.

###

Di kampungnya, yang kebanyakan hujan daripada kering itu, dia hanya memiliki beberapa teman. Selama ini ia hanya tinggal berdua dengan Karo, panggilan untuk neneknya. Mereka tinggal di gubuk dengan dua ruangan tanpa listrik dan gerbang serta jauh dari perkampungan penduduk apalagi dari kota. Mereka makan beras yang ditumbuk neneknya, makan ikan asin yang dibeli neneknya ketika ke pasar menjual hasil tani, makan sayur dan buah yang mereka tanam sendiri dan sekali-sekali makan ayam piaraan sendiri. Semua dilakukan sendiri. Tak terlalu butuh sabun. Mereka biasa menggantinya dengan daun kembang sepatu. Mereka tak pernah membutuhkan televisi. Satu-satunya barang elektronik yang ada hanyalah radio transistor tanpa gelombang FM yang jarang dipasang.

“Amai, panggil bibik ke rumah” pinta Karo dengan nafas tersengal-sengal. Tak ada waktu untuk Ulih bertanya ada apa dengan neneknya. Segera dia berlari dan berlari. Dia butuh beberapa puluh menit untuk sampai di perkampungan. Tentu dia harus melewati sungai selebar lima meter dengan berenang karena jembatan yang terbuat dari ikatan beberapa buah bambu hanyut terbawa arus.

Tak seorangpun kini memanggil dia “Amai”. Di sekitar gubuk rumput-rumput mulai tinggi. Tak ada lagi suara alu bertalu maupun suara nenek memanggil Jinggo, anjing kesayangan, dan kebiasaan-kebiasaan nenek lainnya. Belakangan beberapa orang yang akan ke ladang kerap singgah di gubuk hanya sekadar menengok Ulih dan mengantar beras, garam, gula, roti, dan sebagainya. Ulih tak ingin bicara. Hanya air matanya menyambut setiap kedatangan tamu. Sebagian dari mereka yang tak kuasa menyaksikan kepiluan Ulih mengajaknya untuk tinggal saja di kampung dengan mereka. Lagi-lagi Ulih hanya duduk kaku dan diam-diam bercengkrama dengan air mata.

Telah sebulan Ulih hidup dalam diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia tak pernah memanggil Jinggo untuk makan, menyapa kucing-kucing, dan membiarkan ayam-ayam makan sendiri. Malam itu satu hal memaksa Ulih bangun dan berteriak. Dalam mimpinya, sesosok raksasa mengerikan memukul giginya habis. Mulutnya penuh darah dan mukanya berubah kasar mengerikan.

Di luar Jinggo menyalak terus-terusan dan sekali-sekali mengaum. Ayam-ayam dan kucing ribut tak karuan. Segera Ulih tahu ada makhluk lain di luar sana. Lalu dia melakukan hal yang biasa dilakukan neneknya. Mengambil senapan angin milik kakek, mengikat kepalanya dengan kain putih, dan berucap sepenggal mantra. Segera setelah itu biasanya semuanya akan aman kembali. Namun hari ini lain. Anjing menyalak lebih keras, ayam dan kucing makin ribut. Dari celah-celah dinding Ulih melihat kobaran api di kandang ayam. Ulih sadar tak ada gunanya berteriak karena tak seorang pun akan mendengar. Dengan gesit Ulih membungkus barang-barang dengan kain sarung dan mengendap-endap lewat pintu belakang. Ulih tak tau persis itu pukul berapa. Malam itu gelap sekali. Tak sebuah pun bintang terlihat. Dari kejauhan dia memandangi gubuknya yang hampir habis terbakar. Sambil meneteskan air mata dia mendoa entah pada siapa. Dia memohon supaya ayam-ayam, kucing, anjing, dan tanaman yang dia tinggalkan tidak semenderita dirinya. Dalam doanya Ulih tertidur dan bangun ketika matahari mulai hangat. Di sampingnya Jinggo duduk kemudian menjilati muka tuannya seakan berbagi duka. Setelah bercengkrama beberapa lama mereka berjalan menuju perkampungan tanpa rasa takut. Kata nenek terang adalah teman paling baik. Terang melindungi mereka dari begu (hantu) satu-satunya makhluk yang paling dia takuti. Mereka berjalan dalam diam sampai sungai. Ulih sangat mencintai sungai. Dia suka menenggelamkan dirinya lama-lama lalu mengambil nafas sebentar saja dan tenggelam kembali. Itu dilakukannya berulang-ulang sehingga dia merasa lebih baik. Ingatlah Ulih bahwa telah lama dia tak mengajak Jinggo bermain. Ulih tak perduli dengan sinar matahari. Tanpa ampun matahari pagi membakar tubuh telanjangnya. Mereka bermain sampai matahari hampir tegak berdiri.

Jam segini tak seorang pun akan lewat sungai karena semua orang telah asyik bekerja di ladang atau sawah. Mereka meneruskan perjalanan melalui pematang sawah. Sawah di kampung mereka ramai betul dengan orang-orangan dan pelastik-pelastik pengusir burung atau tikus. Kuning tua padi seakan ternoda oleh warna-warna usang yang mereka pajang tanpa perasaan. Suara bambu berdetupan, pelastik, kaleng-kaleng bekas, dan suara manusia sahut-menyahut menghalau burung. Ulih merasa nyaman berada ditengah-tengah suasana seperti itu. Dia ingin turut tapi tak tahu harus ke pantaran siapa. Mereka terus berjalan saja.

Lewat tengah hari Ulih sampai di perkampungan dan bertemu temannya yang telah pulang sekolah. Mereka bermain. Ulih berbicara dan tertawa lagi. Jinggo dengan setia menunggui buntelan milik tuannya. Ulih dan Jinggo tak pernah kelaparan karena orang-orang di kampung selalu memasak makanan lebih. Sore akhirnya menjelang. Satu per satu temannya dijemput ibu mereka yang telah kembali dari ladang. Temannya akan berteriak setengah melagu bahagia: ”Sudah datang ibuku, sudah datang ibuku”. Mereka melagukannya berulang-ulang tanpa sadar dan memang tak harus sadar ada Ulih yang takkan dijemput ibunya. Mereka tinggal bertiga namun teman satunya mulai berteriak. ”Datang ibuku”. Ulih sedih teringat neneknya. Neneknya takkan menjemputnya. Tapi Ulih tak terlalu sendiri. Temannya yang terakhir dijemput ibunya akan mengajak Ulih tinggal di rumah mereka. Ulih tak punya pilihan walau sebenarnya ulih tak pernah tinggal bermalam di rumah selain gubuk neneknya. Malamnya Ulih akan ditanyai banyak hal lalu diajak tinggal saja dengan mereka. Ulih tak akan mau karena neneknya selalu berpesan jangan sekali-sekali menyusahkan orang lain. Demikian setiap hari Ulih mondok dari satu rumah ke rumah lain sampai satu hari Ulih memutuskan untuk pergi saja dari kampung itu.

Pagi-pagi ketika temannya pergi ke sekolah, seperti biasa Ulih akan berangkat ke sungai untuk mandi dan mencuci pakaiannya. Sambil menunggu kering mereka berlari-lari, tidur-tiduran, dan bernyanyi-nyanyi di atas tumpukan jerami bekas panen. Setelah itu dia akan mandi lagi, membalur tubuhnya dengan minyak ramuan neneknya. Sejak kecil tubuhnya selalu dibalur minyak hangat berbau khas. Ia lalu menyisir rambutnya sebelum akhirnya disimpul rapi-ulih selalu meyimpul bulat rambut legam panjangnya. Ulih berangkat pulang dengan menjunjung seember air sebagai ganti dia telah menginap dirumah temannya.

Dalam perjalanan Ulih bicara sepihak dengan Jinggo. Jinggo tak pernah tak mendengarkan Ulih. Tak tahu lagi harus bicara apa Ulih kemudian bercerita tentang Pemanggul Garam yang ditinggal kawin kekasihnya karena terlalu lama pergi, cerita Beru Dayang yang turun dari langit membawa padi sehingga mereka bisa makan, tentang Beru Putri Hijau yang cantik dan mengasihi keluarganya, dan semua cerita-cerita yang pernah diceritakan nenek Karo padanya. Ulih sampai lupa hari telah sore dan hujan mulai turun rintik-rintik. Ulih mulai takut karena dia belum juga menemukan kumpulan rumah-rumah beratap seng. Dalam perjalanannya ulih sering berpapasan dengan aron, sekumpulan ibu-ibu yang bekerja sama di ladang. ”Mau ke mana nak Ulih, sore begini kok jalan sendiri?” tanya mereka perduli tak perduli. Setelah mereka berlalu Ulih akan jongkok dan memeluk Jinggo serta menciuminya. Ulih merasa tak sendiri, ”Mengapa mereka tak melihat Jinggo?” tangisnya. Hari kini lebih sore hujan turun lebih merata. Ulih memilih duduk saja di bawah pohon sambil memeluk tubuh hangat Jinggo dan mereka seakan-akan menangis bersama. Ulih mulai butuh orang yang tak sekadar bertanya tapi mengajaknya pulang saja. Dari jauh Ulih melihat ibu muda dengan bayi di gendongan, ikatan kayu bakar di junjungan, keranjang yang dipenuhi dengan sayur segar dijinjingan, dan anak balita dituntunan. Ulih mengeraskan suara tangisnya berharap ibu ini akan mengasihinya. Mata mereka bertatapan. Ibu itu berhenti, meletakan keranjangnya, dan melemparkan ranting junjungannya. ”Nakku, di mana ibumu?” tanyanya. Tangis Ulih kini pecah. Ibu tadi memeluknya. ”Jangan nangis, nakku, ayo kita pulang.” Ibu mengajak Ulih dan Jinggo. Entah lupa atau sengaja dilupakan ranting tinggal.

###

Ulih merasa sesuatu hangat menjalari pingang kemudian perutnya. ”Hujan tak selalu sesedih itu, sayang.” Lias menempelkan pipinya ke pipi Ulih.

”Aku tak mengenalimu, Lias. Kau muncul dari belahan perut siapa?” tanya Ulih tanpa melihat Lias sedikit pun. ”Mengapa kau diam saja Lias, bohong kalau kau tak mendengarku”, tanya Ulih tak sabar.

”Aku dengar, sayang, tapi mengapa kau bertanya tentang belahan perut. Aku lahir dari lubang vagina ibuku yang sekarang kau panggil ibu juga”.

”Nenek bilang aku lahir dari perut ibuku, tapi tak tahu bagaimana rupanya, apakah wajahnya lebar dan panjang seperti wajahku, payudaranya montok seperti aku. Kau tahu darimana dia ibumu? Bukankah ketika itu kau masih kecil. Dia menyuruhmu memanggilnya ibu, maka kau panggil?”

”Sayang, kau lihat mawar itu, hujan tak hujan wangi tetap miliknya. Kalau hujan bicaramu selalu ngelantur. Ayo dong jangan murung begitu”.

###

Tahulah Ulih bahwa mereka akan tinggal di Rumah Galang-rumah besar yang penghuninya delapan keluarga, ruangannya tanpa sekat, berbentuk panggung, dan dapur mereka berhadap-hadapan. Segera Ulih akan tahu tetangganya masak masakan apa, ayah siapa saja tak pulang malam ini, siapa memusuhi siapa, keluarga mana saja yang paling ribut dan sebagainya. Ulih tak tahu dia betah atau tidak tapi dia mulai menyayangi kedua adik angkatnya. Ibu mereka jarang sekali bicara dengan tetangga. Tak jarang ibu-ibu yang lain berbicara keras-keras sambil melirik-lirik ke arah mereka. Ibunya akan segera menyuruh Ulih mengambil atau bertanya sesuatu. Setelah berbulan-bulan Ulih tinggal di sana seorang laki-laki yang belum pernah ia lihat muncul dan menyingkirkannya dari tempat tidur mereka satu-satunya.

###

”Tahu kah kamu, kakek punya tiga jabu (rumah, keluarga). Nah, bik Piah itu anak kakek dari Rumah Gugung”. Ketika itu Ulih hanya iya iya saja. dia tak tahu apa-apa.

”Dari rumah ini kok engga ada bibik, Karo?” tanya Ulih polos.
”Amai, tak semua rumah harus punya bibik. Dari Rumah Gugung ada bapak tua, karena dia anak laki-laki kakek paling besar. Di rumah ini nenek punya jagoan, ayahmu.

###

Lama Ulih tak mengerti maksud neneknya. Belakangan ia tahu kakeknya berpoligami. Tapi ketiga nenek-neneknya itu yang terdiri dari Nek Karo, Nek Tigan, dan Nek Biring akur-akur saja. Nek Biring yang merupakan madu neneknya dulu jika tanggal muda sering berkunjung ke gubuk mereka mengantarkan gula atau minyak kelapa. Tahulah Ulih sekarang uang pembeliannya dari veteran kakek. Sekarang ibu angkatnya rupanya juga sama dengan neneknya. Hanya ibu angkatnya tak akur dengan madu-madunya yang lain. Ulih jarang berbicara dengan ibu angkatnya. Ulih tahu banyak dari omongan-omongan tetangganya.
###

Belakangan ”Ayah” angkatnya sering tinggal di rumah mereka. Itu sangat mengganggu hubungan tak akrab Ulih dengan ibunya. Ibunya semakin jarang bicara, jarang tersenyum, tak pernah mendongeng, bahkan setiap pagi menangis tersedu-sedu sambil masak. Ayah mereka tak sekalipun pernah menemani mereka ke ladang. Dari rumah mereka berangkat bersama tapi ayah akan berhenti di kedai kopi. Ibu diam saja lalu beberapa meter setelah itu dia mulai meneteskan air mata.

Ulih makin lama makin banyak belajar. Belajar membaca dan menulis dari adiknya, belajar menari dari tetangganya, dan belajar menyulam dari ibunya.

###

”Ulih, tak ada yang menyangkal kecantikanmu. Bahkan ketika matamu terus menerus basah dan hidungmu mematang.” Lias, suaminya berkali-kali mengusapi air mata istrinya yang telah berjam-jam berdiri saja di teras loteng mereka.

”Dengan kau menikahiku seratus kali lagi, memujiku sejuta kali lagi, aku belum akan memaafkan perbuatan orangtuamu dan saudara-saudaramu,” tukas Ulih dingin. Ulih tahu suaminya tak pernah menghendaki kata-kata itu keluar dari mulut istrinya yang mungil. Namun Ulih sepanjang waktu sadar kata-kata itu perlu diutarakannya. Tahulah suaminya dua tahun pernikahan mereka membuat istrinya tersiksa.

”Aku benar-benar ingin bertanya padamu, Lias. Kemana Piah, ibumu, yang juga bibiku lima belas tahun lalu. Lima belas tahun yang lalu juga ayahmu tanpa belas kasihan membakar gubuk satu-satunya tempatku hidup. Ibumu picik sekali menikahkanmu denganku hanya karena tak ingin kehilangan keponakannya lebih lama. Lias, aku ingi bercerai darimu!” Bisa itu telah benar-benar keluar dari mulut Ulih.

”Ulih, kekasih hati dan jiwaku, aku menikah denganmu karena aku mencintaimu, bukan karena orangtuaku. Mengapa kau begitu kejam hari ini?” Suaminya mulai menitik air mata tapi Ulih sama sekali tak perduli.

”Hujan akan selalu mengantarkanku lagi, lagi, dan lagi pada lima belas tahun lalu, kemudian enam belas tahun, dua puluh tahun, empat puluh tahun..... kau takkan bisa menghentikanku”

”Aku ikut denganmu, Ulih”
”Aku tak hanya akan membakar rumahmu, tapi juga kedua orangtuamu.”
”Kau ingin aku mengajarimu bagaimana caranya?”

Seperempat jam mereka telah saling berpandangan tanpa tahu harus berbuat apa.

^@$@$@&$&

Cerpen karya Pdt. Arapen Perangin-angin (Mr. Hope)

Cerpen karya Pdt. Arapen Perangin-angin (Mr. Hope) PDF Cetak E-mail

Thursday, 20 March 2008
Erga Diri
Oleh: Mr. Hope

“Kerpak….kerpuk…kerpak..kerpuk…..” terbegi sora gejek idur jambur nari. Jelma kiam kujah kujenda bagi kalak adon.
“Nandei….! Kiamken….!Kiamken…..! Sampati…..! Saroi….!” I rumah nari lit ka sinungkun alu megang, sora diberu, kai e…. kai…kai? Empetna kal tah ban biarna, tapi la lit si megikenca.
Eruklah labah ena! Ola ko kari gudamna,” nina ka sora si nggo agak metua bas jabu nari. Ibas jelma sienterem e teridah dua kalak anak perana sitinjun. Sada ras sidebanna desken petinju ngerebut gelar juara doni. Kaing... kaing.. kaing.... anak biang terdedeh kalak.
“Matei ko...’ nina ka terbegi sora, sengget mungkin ia. Huntak sada kuta.
Kedungenna mata kalak tertuju kubas si rubati e. Enggo mulai i teh kalak kai si jadi. Piga-piga perbapan si nguda ras si metua ndeherisa.
“Ndoku dungi anak e.”
“Engko leben kulunat.”
“Kai denga begu? Ikomin!”
“Engko begu. Katawari atem?”.
age me si jabapen kalak e iherna cukais-cukais i rempu kalak.
“Nggo, enggo mena! La lit gunana e,’ ninaka terbegi pudi nari.
"Ningen pe meriah-meriah ibaskerja tahun enda,cuba kena ka rulah-ulah."
“Pulahi min! Maka tanadai anak e ise aku.”
“Ndekah me kutandai popom. Asa regen e di diateku ko.”
“Ih...anak e...anak e...pulahi min. Ndaku tokup babahna e.”
ggurpas kalak e duana. Panasen ia duana ikut pe si nagangisa maler panasna. Angin berngi si mbergeh e la ngasup nahan lasna pusuh kalak e.
“Adi mekeng ia duana, tilanjangi saja kalak e. Kenca tamaken ku kantor pengulu ah, tah uga kin kari," nina sora perbapaan, mbuesa ia minem, lanai ranakenna je pe simehangkena.
“Ma payo akap kena, ale?” nungkun ka ia man jelma sienterem, desken kampanye pemilu. Ise pe la ngaloi. Saja piga-piga tungkuk. Deba tutupna ka babahna alu kampuhna, tah uga akapna cakap mambur-mabur bage. Piah rukur ka tempa si ngeranai ndai. Dungna sinik.
“Kai e?”, terbegi sora pudi nari. Sekalak perbapaan alu postur daging si mbestang, erbaju mbiring. Kumisna entelap kawes kemuhen. Matana ntelap natap pegancih duana si rubati e. Megi sora e, ipesalang kalak dalan man bana. Sinik kalak kerina. Si rubati e pe bagi manuk bernungen duana.
“O, Berani, terusken kena gendangta e. Aturmu mehuli!”
“Oe..Bulang.”
“Eah baba kalak enda ku rumah. Langlang kari akap kalak,” nina iherna lawes.
Ibaba kalak e me duana petinju la resmi e ku ingan si ikataken perkumis telap e. Bage lawes kalak e. “Horeee....gendang iterusken,” nina piga-piga danak-danak. “Sip koh..” nina nande-nande si ideherna, lang je nge ukurna. “Nggo ka kapko kita merga nggalar guna gendang enda, la sahun ningen ka. Rugilah,” nina ka sekalak ngerana janah nuntil.

I rumah pengulu, ibas jabu bagian tengah enggo kimbang amak kawes kemuhen. Sada amak mbentar ikimbangken i tengah ngalaken kalak e duana. Ban lampu terang e enggo teridah maka piga-piga bagin lit besar ras lembam bas duana si rubati e. Bukna ras uisna pe lanai bo raturen. Sadar ia keadaanna ipekenana ka. Iusapna ayona, surina ka bukna salu jari-jari tanna. Bajuna pe ikancingna. Lit ka pe si enggo retap kancingna.

La ndekahsa reh dua singuda-nguda mbaru mberkat pake jeans tapi rabit, menam la idah jeansna e. Sekalak maba cerek sada nari maba gelas salu ember mbiring. Minter sekalak namai gelas sidebanna ngisisa. Mberu kel tuhu singuda-nguda enda seh maka kerina neringkenca. Lit ka alu nangko-nangko. La ketadingen si rubati e pe, aminna tungkuk sesekali benterkenna tatapen man singuda-nguda e.
“Tama tole permen, muas kal bengkilandu,” nina sekalak perbapaan.
“Aku pe gi ntah, lain kuakap nanamna sendah,” nina ka sekalak anak perana.
“Nggo mena bang,” nina si ngisi teh alu sitik salah tingkah.

Kerehen perkumis telap, si kepeken pengulu e erbahansa suasana agak serius. Kundul ia mis bas amak mbentar si enggo isikapken. Minter ka itama singuda-nguda e gelas ras tehna. Arah e me kalak e lawes ban enggo serser dat teh.

“Eah, minem kita. Kena duana lenga kuidah minem. Adi la kena minem lenga bo sibenaken percakapen enda, lah enggo teh kena,” nina pengulu iherna nirup tehna. Sitek kel incepna ban lasna. Megi cakap e la ndekahsa duana sirubati nengkap gelasna. Celnatkenna sitek ku biberna, mis ka amparkenna tehna. Banci jadi teh manis e pe meser ban enggo pecah nggusina.

“Eak, engko lenga kap kutandai. Ise gelarmu, Nak?” nina pengulu man si kawes
“Mintes, Bulang.”
“Mintes, ija kutam?”
“Berneh Mbelang.”
“O.., ise bapam?”
“Pa Rimbalang.”
“Oh..enggo cocok kel. Tapi la ko pernah kuidah?” Sitatapen kalak kerina.
“Ndekah aku Sulawesi, Bulang.”
“O, patutlah,” nina pengulu janah engkusur sitek perkundulna ngalaken pak kemuhen.
“Engko Rembang, tandaim kang Mintes enda?”
“Lang,Bulang.”
“Em, eak, kai kin sebabna maka kena rubati?”
“Terdedeh aku nahena, Bulang, bagi gelarna e mintes aku isakkenna. Isakkenna ka kapndu kita lebe-lebe singuda-nguda ah, bene erga dirinta pe. Ngilas kuidah mis ka lah kuparap,” sitek kal bagi si senyum Pengulu.
“Adi lebe-lebe dilaki ko isakkenna lakap bene rega dirim e? La ka ko megelut ari?” Sinik saja Rembang megi perkataan Pengulu e.
“ Engko Mintes, payo nge kata Rembang ena ndai, tah lain ka bas engko nari?”
“Payo, Bulang. Saja dedehna aku, pas kel bas kambal-kambal nahengku, ertumit ka sepatuna, kuskula seh kel suina Bulang. Emaka gelap kuidah, terisakken akulah. Parapna ka, ya kuparap ka lah.”
Bagi si tawa deba simegi-megi ban ikataken sepatu Rembang ertumit.
“Uga ka sepatu ertumit, sepatu diberu pake anak ena?” Gerrr.....tawa kalakkerina. Ayo Rembang ikut megara.
“Bagi sepatu tintera pakena, Bulang,” nina ka lit menetralisir arah pudi nari.
“Ooo... ningkalak kerina serentak la ikomandoi. Inem Pengulu ka tehna. Mulihi ka tenang kerina.

“Engko Rembang, enca enggo kena rubati ndai, lit ka nge akapko naik rega dirim? Engko Mintes, enggo me kapmu puas kenca sitinjun ndai? Duana sinik kalak enda.
“Persoalen kena duana la kap isengaja. Si Rembang terdedehsa, Mintes terisakkenna. Jadi la lit rekayasa dendam ras unsur kesengajaan. Cuma enda jadi pelajaren man kena ras man banta kerina. Bertindak atas nama erga diri enda pe arus hati-hati. Erga diri ninta, tapi besar kulanta, huntak si ban sada kuta. Kerja tahun si oratna inganta jumpa meriah salih jadi kebiaren. Kutanta enda pe piah termurmur me kuta si man kebiarenken. Adi bage nge kecibal kutanta asa ndigan pe labo banci maju.”
Sinik kalak kerina. Pengulu pe tempa nggunaken waktu e nehken petuahna.
“Lanai jamanna kita bangga adi kalak mbiar man banta ban kinirawanta. Arimo ma merawa nge, tapi nen kena wari ku wari reh mencurna bilangenna. Lembu ras biri-biri labo merawa tapi reh teremna beliganna. Adi bagenda-bagenda ngenca pemetehta ibas jaman si genduari enda nandangi murde me kita kerina.”
Rempat sinek pengulu. Igejapna ia nggo mbuesa ngerana.

“Engko Mintes, adi labo sengaja, ma banci nge imaafkenmu si Rembang?” Lnga pe ijawab Rembang mis ka teruskenna. “Engko Rembang adi ban silap nge Mintes maka isakkenna engko, ma labo nari nari sangkut ukurmu?” Sinik duana kalak ndai. Si enterem pe tempa merincuh megi jabab kalak enda. Kenca sora kai pe la terbegi.

“Adi mehuli ukur kena mis kena ngerana. Aku la terkena ndekah-ndekahsa ncakapken sibagenda. Si ergan kita. Adi la kena nggit duana ngerana gelah sisehken ku aparat keamanan.” Sitatapen kalak kerina. Sidua kalak e pe bagi si sengget. “Eah rukur kena duana,” nina sekalak perbapaan.
“Engko lebe ndedeh nahe Mintes, uga nim Rembang?”
“Nggit Bulang.”
“Engko Mintes?”
“Nggit Bulang.” Bageilah, nina kalak kerina janahna tepuk tan. Lit ka si surak. Iangkat pengulu tanna. Sinik kerina.

“Engko Rembang, tandaim ka nge Pa Gedang?”
“Tandai Bulang.”
“Kadem e?”
“Bapa tengahku.”
“Siparibanen kal Pa Tengahmu rasa bapa Mintes e, lah enggo tehmu.” Sitatapen kalak kerina.
“Enam ia, enggo sikenan lebe maka sintandan. Mis serentak piga-piga perbapaan ipetedisna ras ipejumpakenna sidua kalak e. Bagi anak-anak kitik suruh sisalamen bage me kalak e. Sidakepen ia ras ngataken maafna. Siang ayo kerina si pulung. Tangkas kel terbegi gendang kerja tahun e erbolo-bolo. Singuda-nguda anak perana paken adat sangana sisegeren. Meriah surak si natap. (Turgen enda sada pesan man banta ngadapi Pilkada si reh enda. Ulanai min Karo itandai ibas stigma negatif. Mari si Bayu keersadaan ras kwalitas SDM-ta si mehuli).
Sumber: Tabloid SORA SIRULO XII (November 2007)

PENIRANG RIMO MUKUR

Joni Hendra Tarigan

Ibas ateta ngena kita erkuan,,
Ibas ateta keleng si pudun arih,,
Ibas aku la arus bagem kusimbak padanku,,
Ngarap arih lanai mosar, geluhku pe nggom kuborohken,,

Ulihi aku Ma Tigan nindu,,
La kel lit orat geluh kubaba adi la kin man bandu,,
Adi lanai kin lit dalanku tampil, bagem erturang lah gia aku atan
Gelah lit dalanku ras kam asa metua, bagem nindu nami2 agi,,
La terbuali aku pusuhku agi,,
Bagem gia nggo sempat sontar pusuh Ma Tigan,,
Kualo-alo kam Nde Karongku, erjanji ibas pusuh ngkelengi kam pagi asa metua,,
Cirem janah tawa kel kita impal gia Bandung Medan kel si nirangken kita,,

Ndauh kita erdalan pekepar lawit,,
La kepe aku ngenca singgah i bas pusuhndu
Erteman me kam ras si deban nambari tedehndu nandangi aku,,
Aku nge sikelengindu, sideban temanndu erkuan,,

Lanai kel kam erberita sayang
Si ugapana pe la kam ertenah,,
Ibas ukurku terdaram, peduakalindu kepe
Nontarken ateku keleng,,,

Kubaba ukurku ceda, ngepari nageri kemulihenta
Sirang menda kita Bre Iting la bas arih,,
Gia lit si ngkelengi aku, ganjih sambarndu,,
Iluhndu ndabuh erbahan ukurku erkusur

Ula kam teriluh Karo,
Gia lit si deban si ngkelengi aku,,
La erkusur ateku jadi nandangi kena,,
La luntur ateku keleng,,

Bagem karo,, sabar kam lebe
Kentisik nari dung me sekolahku
Mulih me aku ku nagerinta,,,
Je pagi si dungi arih-arihta,,,,

Tawa kel kita impal gia Belanda Naman kel sinirangken kita,,,
Ergiahgiah me Ma Tigan pekepar lawit
Gelah banci lampas sidungi arih-arihta,,
Si ulihi ateta keleng

Tapi la kel aku ngasup mbegi beritana impal,,,
Enggo kepe kam njabuken bana,,,
Ibas kam teriluh aku nadingken Indonesia
La kel aku tek mbegi-begisa tambar tedehku

Lasam me sumpah janjinta ndungi arih si lolo...
Erdemu kam ras si deban, ibas aku kel sikelengindu
Arah temanta pe kam ertenah, maka aku kel ngenca simantimankendu,,

Teriluh me Ma Tatigan natap arih si mosar,,
Banci kepe sambar ukurndu, alu sada rimo mukur,,,
Lenga bo ndekahsa kam ngamburken iluh,,
Segelah si ulihi ateta jadi,,,

Ntah lanai kin ukurndu pengguruindu,,,
Ntah tabas kel singarak-ngarak kena,
Maka lanai kel tertimaindu dung sekolahku,

Mbergeh erdeso angin sirembus,,
Kukusikken pusuhku tenah pusuhku keleng nandangi kam,,
Mejuah-juah dage kam njabuken bana Karo,
Jumpa bulan matawari,,,

Gia rimo mukur si nirangken kita,,
Tapi e lah jadi persada arih ras bulangendu,,
Kukelengi kam asa lalap gia sideban teman geluhndu.
Sangap kam njabuken bana Nd. Tepuku,,


ku buat arah artikel sora sirulo