Minggu, 26 Oktober 2008

TUgas kedua

Budaya Karo - Religi Rakyat

Dalam hal alam pemikiran dan kepercayaan, orang Karo (yang belum memeluk agama Islam atau Kristen) erkiniteken (percaya) akan adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari

  1. Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang menguasai alam raya/langit
  2. Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia
  3. Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai di bawah atau di dalam bumi

Dibata ini disembah agar manusia mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan. Dan apabila tenaga gaib yang merupakan kekuatan perkasa dari maha pencipta -dalam hal ini Dibata yang menguasai baik alam raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah- disembah maka permintaan akan terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian melakukan berbagai variasi untuk melakukan penyembahan.

Mereka juga percaya bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“, sewaktu-waktu bisa meninggalkan jasad/badan manusia. Kalau hal itu terjadi maka diadakan upacara kepercayaan yang dipimpin oleh Guru Si Baso (dukun) agar tendi tadi segera kembali kepada manusia yang bersangkutan. Jika tendi terlalu lama pergi, dipercaya bahwa kematian akan menimpa manusia tersebut. Mereka juga percaya bahwa jika manusia sudah meninggal maka tendi akan menjadi begu atau arwah.

Banyak upacara ritual yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan, kebahagiaan hidup, dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi mimpi buruk, maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi kelahiran anak, kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain. Di semua kegiatan ritual ini peranan para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar.

Mereka yang berkepercayaan demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu. Tapi terlepas dari maksud pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas, yang secara kasar dapat diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka menyatakan bahwa mereka percaya adanya Dibata yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada tenaga gaib atauu kekuatan maha dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja menurut kehendaknya. Kalaupun ada dilakukan upacara ritual berupa persembahan, maka persembahan itu maksudnya adalah kepada Dibata tadi, hanya saja penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.

Dengan demikian, pada perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam alam fikiran dan kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan dengan roh keluarga yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang mereka hormati sebagai pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat. Mereka juga percaya bahwa pada kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan anak cucu mereka.

Meski sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik, Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.

Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo

Melanjutkan post kemarin tentang Budaya Karo. Terima kasih buat yang sudi capek-capek membaca dan sumber yang sudi dicopy-paste.

Sekarang sedikit iseng-iseng lagi ngepost tentang sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Seluruh isi post ini disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo : Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Tujuan sebenarnya ngepost ini adalah untuk menambah wawasan pribadi tentang kekerabatan di masyarakat Karo, jadi mohon maaf dan pembetulan kalau ada kesalahan pada post ini smiley.

Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup).

Menurut Drs. Pertampilan Brahmana, konsep ini tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi juga ada dalam masyarakat Toba dan Mandailing dengan istilah Dalihan Na Tolu juga masyarakat NTT dengan istilah Lika Telo

Unsur Daliken Sitelu ini adalah

  • Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))
  • Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))
  • Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing))

Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

Sistem Perkawinan

Sistem Endogami. Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya sendiri. Di Indonesia contoh perkawinan seperti ini menurut Van Vollenhoven hanya terdapat di Toraja saja (Surojo Wignodipuro, SH. 1973 : 152).
Sistem Exogami. Pada sistem iniseseorang diharuskan kawin dengan orang lain diluar marganya (clannya) atau keluarganya. Perkawinan demikian terdapat juga di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. (Surojo Wignodipuro, SH. 1973 : 152).
Sistem Eleutherogami. Pada Sistem ini tidak dikenal larangan atau keharusan untuk kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada hanyalah yang bertalian dengan ikatan darah atau kekeluargaan (turunan) yang dekat. Sistem perkawinan seperti ini terdapat juga di Aceh, Sumatera Bagian Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa Madura.Sistem Perkawinan pada masyarakat Karo terdiri dari :

Sistem perkawinan pada Merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan. Pada merga-merga (baca : marga) tersebut diatas, berlaku sistem perkawinan exogami murni, dimana mereka yang berasal dari sub-sub merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan diharuskan kawin dengan orang lain dari luar merganya, atau dilarang kawin semarga.
Sistem perkawinan pada Merga Perangin-angin dan Sembiring. Sistem perkawinan pada kedua merga ini adalah elutherogami terbatas. Adapun letak keterbatasannya adalah seseorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembirirng diperbolehkan kawin dengan orang dari merga yang sama, tetapi sub merga (lineagea)-nya berbeda. Misalnya dalam merga Perangin-angin, antara Bangun dengan Sebayang, atau antara Kuta Buluh dengan Sebayang. Demikian juga di dalam merga Sembiring, antara Brahmana dengan Meliala, antara Pelawi dengan Depari, dan sebagainya.Larangan Perkawinan dengan orang dari luar merga (clan)-nya tidal dikenal, kecuali antara Sebayang dengan Sitepu, atau antara Sinulingga dengan Tekang, yang disebut sejanji atau berdasarkan sebuah perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, dimana mereka telah mengadakan perjanjian untuk tidak saling kawin-mengawini. Eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebagai hubungan geneakolongis, dan asal-usul sub merga tidak sama.

1. SENINA

Yang dimaksud dengan senina adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Se berarti satu, dan nina berarti kata atau pendapat, atau juga orang yang bersaudara.
Senina pada suku Karo terdiri atas :

a. Yang langsung (seh) ke Sukut

Sembuyak. Adalah orang-orang yang bersaudara kandung, satu kakek dari ayah, atau seterusnya menurut garis keturunan dari ayah.
Gamet/Senina Sikaku Ranan. Adalah orang-orang yang mempunyai merga yang sama, tetapi sub-merganya berbeda. Dalam musyawarah mereka biasanya menjadi Sikaku ranan (juru bicara).b. Yang berperantara (Erkelang) ke Sukut

Sepemeren. Adalah orang-orang yang bersaudara, baik ersenina ataupun erturang karena ibu mereka bersaudara, atau pun beru ibu mereka sama.
Separibanen. Adalah orang-orang yang bersaudara (ersenina) karena isteri mereka bersaudara (sembuyak) atau juga beru isteri mereka adalah sama.
Sepengalon. Yang menjadi senina sepengalon kita adalah keluarga dari kalimbubu suami anak perempuan kita.
Sendalanen. Adalah menantu laki-laki dari mama kita, atau orang yang mengawini impal kita.


2. ANAK BERU

Anak beru berarti anak perempuan, dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil isteri dari keluarga (merga) tertentu. Secara umum anak beru dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Anak Beru langsung, yang terdiri atas lima jenis (lapis) :

Anak Beru Angkip/Ampu, yaitu menantu (kela), atau suami dari anak kita, yang baru pertama sekali mengawini keluarga kita.
Anak Beru Dareh/Ipupus, yaitu anak dari bibi, atau anak dari turang kita.
Anak Beru Cekoh Baka, adalah anak beru yang telah mengawini keluarga tertentu sebanyak dua kali berturut-turut. Misalnya anak beru dareh mengawini impalnya.
Anak Beru Cekoh Baka Tutup, adalah anak beru yang telah mengawini keluarga tertentu sebanyak tiga kali berturut-turut. Misalnya anak beru cekoh baka mengawini impalnya.
Anak Beru Tua. Terdiri atas tiga bagian yaitu (a). Anak Beru Tua Jabu, adalah anak beru yang terlah mengawini keluarga tertentu sebanyak empat kali berturut-turut; (b). Anak Beru Tua Kesain, adalah anak beru yang ikut mendirikan kesain; (c). Anak Beru Tua Kuta, yaitu anak beru yang ikut mendirikan kuta.b. Anak Beru Erkelang, yaitu anak beru yang tidak langsung berhubungan keluarga tetapi dengan perantaraan orang tertentu, terdiri dari :

Anak Beru Sepemeren, yaitu anak beru dari senina sepemeren kita.
Anak Beru Menteri, adalah anak beru dari anak beru.
Anak Beru Singikuri, adalah anak beru dari anak beru menteri.
Anak Beru Singikuti, adalah anak beru dari anak beru singikuri.
Anak Beru Pengapit, adalah anak beru dari anak beru singikuti. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu.

kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:


Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi isteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.

Tugas Budya Kerja

Disusun

OLEH:

Nama: Ripka br sembiring Kelas:1-ap3

tugas adikku

Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.

  • Hari pertama, cikor-kor.

Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

  • Hari kedua, cikurung.

Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

  • Hari ketiga, ndurung.

Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

  • Hari keempat, mantem atau motong.

Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

  • Hari kelima, matana.

Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

  • Hari keenam, nimpa.

Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

  • Hari ketujuh, rebu.

Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

“Proses Pernikahan pada Suku Karo”

“Kronologis Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya”

Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu. Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek. populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua. Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.

Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain. Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja. Hanya pedagang yang disebut dengan “Perlanja Sira” yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)

Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah), ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita. Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa. Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut “perbegu”. Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya, walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.

Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi dilaksakan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga, dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang, bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.

Proses Pernikahan
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin berkeluarga pada pria dewasa dinamai “Anak Perana” dan wanita dewasa dinamai “Singuda-nguda”. Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :

Naki-naki
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang, tetapi harus sesuai dengan adat Karo. Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.

Maba Nangkih
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria. Sebagi tanda melalui perantara diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita. Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya. Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya. Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.

Ngembah Belo Selambar
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak, selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya, demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria. Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya. Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu) isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah, tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.

Nganting Manuk
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali. Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting. Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi), tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang. Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari. Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak. Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya, berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan.

Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu Singuda pesta adatnya dilakukan dirumah saja, Sintengah bila kumpul seluruh sanak family, Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau. Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya. Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere, apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.

Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak disampaikan/disetujui. Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.

Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan. Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.

Kerja Adat Perjabun
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adapt pernikahan. Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.

Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)

Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi.

Jika kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi dikemudian hari untuk membayar utang adat.

Pada waktu dulu tidak ada pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan hadiah dan doa restunya.

Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu “si arah raja”, ini ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan si mecur, diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas, bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya. Setelah itu Rp. 60,- uang perak unjuken untuk pihak si wanita, selebihnya dinamakan tepet-tepet dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.

Pesta Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu, bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken, jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun denda, nambari pertuturen.

Demikianlah sekilas Kronologis Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya, pada zaman dulu, hal ini sebagai kilas balik sesuai dengan zamanya.\

Tugas Budya Kerja

Disusun

OLEH:

Nama: Bunganta Periahta br sembiring Kelas: 1-Ap3