Rabu, 26 Mei 2010

DIALEK BAHASA KARO

Dialek dalam Bahasa Karo umumnya dikenal dalam 3 buah pembagian
  1. Dialek Gunung-Gunung (Cakap Karo Gunung-Gunung)
    Dialek ini digunakan di daerah Kecamatan Munte, Juhar, Tiga Binanga, Kutabuluh, dan Mardinding.
    dialek1
  2. Dialek Kabanjahe (Cakap Orang Julu)
    Dialek ini digunakan di daerah Kecamatan Kabanjahe, Tiga Panah, Barus jahe, Simpang Empat, dan Payung.
    dialek2
  3. Dialek Jahe-jahe (Cakap Kalak Karo Jahe)
    Dialek ini digunakan di Kecamatan Pancur Batu, Biru-Biru, Sibolangit, Lau Bekerei, Namo Rambe (termasuk kabupaten Deli Serdang) dan di daerah Kabupaten Langkat (Hulu) sperti Selapan, Kuala, Bahorok, dan sebagainya.
    dialek3
peta

PAKAIAN ADAT KARO

1. Uis Beka Buluh




Ukuran : 166 x 86 Cm

Uis Beka Buluh memiliki ciri Gembira, Tegas dan Elegan. Kain Adat ini merupakan Simbol Wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra Karo.

Penggunaan:
  • Sebagai Penutup Kepala. Pada saat Pesta Adat, Kain ini dipakai Pria/putra Karo sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan. Kain ini dilipat dan dibentuk menjadi Mahkota pada saat Pesta Perkawinan, Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara Kematian bagi Orang Tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut)
  • Sebagai Pertanda (Cengkok-cengkok /Tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai ke bahu dengan bentuk lipatan segi tiga.
  • Sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu (Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) sehingga berhasil dalam hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh.


2. Uis Jongkit dilaki.




Ukuran : 172 x 96 Cm

Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter kuat dan perkasa.

Penggunaan :
  • Sebagai pakaian luar bagian bawah untuk Laki-laki yang disebut gonje (sebagai kain sarung). Kain ini dipakai oleh Putra Karo untuk semua upacara Adat yang mengharuskan berpakaian Adat Lengkap.

3. Uis Gatip



Ukuran : 164 x 96 Cm

Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter Teguh dan Ulet

Penggunaan :
  • Sebagai Penutup Kepala wanita Karo (tudung) baik pada pesta maupun dalam kesehariannya.
  • Untuk beberapa daerah, diberikan sebagai tanda kehormatan kepada kalimbubu pada saat wanita Karo meninggal Dunia (Maneh-maneh dan morah-morah)


4. Uis Nipes Padang Rusak



Ukuran : 146 x 74 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam sehari-hari.

5. Uis Nipes Benang Iring



Ukuran : 154 x 62 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita.


6. Uis Ragi Barat / Ragi Mbacang



Ukuran : 144 x 65 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat sukacita maupun dalam keseharian.
  • Lapisan luar pakaian wanita bagian bawah (sebagai kain sarung) untuk kegiatan pesta sukacita yang diharuskan berpakaian adat lengkap.


7. Uis Jujung-jujungen



Ukuran : 120 x 54 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai hanya untuk lapisan paling luar penutup kepala wanita (tutup tudung) dengan umbai-umbai emas pada bahagian depannya.



8. Uis Nipes Mangiring



Ukuran : 148 x 64 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai wanita Karo sebagai selendang bahu dalam upacara adat duka cita


9. Uis Teba




Ukuran : 146 x 84 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai wanita Karo lanjut usia sebagai tutup kepala (tudung) dalam upacara yang bersifat duka cita
  • Pada beberapa daerah, kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu (Maneh-maneh) pada saat orang yang sudah lanjut usia meninggal.

10. Uis Pementing




Ukuran : 168 x 72 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung.



11. Uis Julu diberu




Ukuran :

Penggunaan :

  • Untuk pakaian wanita bagian bawah (sebagai sarung) untuk upacara adat yang diharuskan berpakaian adat lengkap.

12. Uis Arinteneng



Ukuran : 140 x 84 cm

Penggunaan :
  • Alas pinggan pasu yang dipakai pada waktu penyerehan mas kawin
  • Alas piring makan pengantin saat makan bersama dalam satu piring pada malam hari usai pesta peradatan (man nakan persadan tendi/mukul)

13. Perembah



Ukuran : 160 x 67 cm

Penggunaan :
  • Untuk menggendong bayi
  • Untuk anak pertama, perembah diberikan oleh Kalimbubu seiring doa dan berkat agar anak tersebut sehat-sehat, cepat besar dan menjadi orang sukses dalam hidupnya kelak.

14. Uis Kelam-kelam



Ukuran : 169 x 80 cm

Kain ini bukan kain tenun manual, tapi hasil pabrik tekstil yang dicelup warna hitam menggunakan pewarna alami.
Penggunaan :
  • penutup kepala wanita Karo (tudung teger) waktu pesta adat dan pesta guro-guro aron.
  • Kain ini juga digunakan sebagai tanda penghormatan kepada puang kalimbubu pada saat wanita lanjut usia meninggal dunia (morah-morah)

makanan karo

A.makanan khas karo
1. kidu-kidu

kidu kidu adalah masakan dari karo yang berupa ulat dari pohon enau cara memasaknya
Setelah dibersihkan kidu ini digoreng agar bagian luarnya renyah, tetapi tidak sampai pecah agar cairan di dalamnya masih utuh. Kidu goreng ini kemudian dimasak sebentar dalam kuah arsik – kunyit, kemiri, bawang merah, bawang putih, andaliman, kincung (kecombrang) – yang sebelumnya sudah mendidih tanak.
2.cipera


Ciri khas cipera adalah ayam kampung santan pakai bubuk jagung
3.Arsik

arsik Karo lebih kering dibandingkan arsik batak yang berkuah.
4.saksang

Masakan khas karo lainnya adalah saksang, yg dimasak mengunakan bumbu bumbu khas karo, yg dipakai adalah daging babi
5.pagit pagit/teritis


Terites ini merupakan makanan khas yang biasanya dibuat atau disajikan pada saat pesta besar seperti Merdang Merdem (Pesta Panen Tahunan). Banyak orang diluar Karo yang menggemarinya karena rasanya yang legit dan melam. Banyak yang menyebutnya Soto Karo, karena penyajian dan penampilannya yang hampir sama soto yang umum kita kenal, dimana makanan ini juga terbuat dari berbagai jenis sayuran dan berisi jeroan atau bagian dalam Sapi, Kerbau, atau kambing.
Kira-kira apa ya yang membedakan Terites (Soto Karo) ini dengan soto pada umumnya yang kita kenal….? Yang membedakan adalah kaldu alias kuahnya. Kalau soto yang biasa ada dipasaran, kuahnya atau kaldunya mengunakan santan kelapa dan bumbu khusus untuk soto, nah kalau yang satu ini ada tambahanya yaitu kaldu yang di ambil dari rumput yang ada pada lambung pertama Sapi, Kerbau, atau Kambing. Ups..... tapi jangan salah rumput ini belum jadi kotoran karena rumput ini diambil bukan dari usus besar nya atau bagian sistem pencernaan. Rumput ini masih segar karena ketika kerbau atau sapi memakan rumput maka rumput yang baru di mamah di mulut akan ditelan dan dimasukan kedalam lumbung penyimpanan (perut besar) dimana kemudian akan di mamah kembali baru rumput tersebut akan dimasukan kebagian pencernaan, makanya kerbau ngak pernah berhenti mengunyah(ingat pelajaran IPA waktu sekolah dulu tentang hewan memamah biak). Nah di kantung penyimpanan itulah rumput tersebut di ambil. Dengan kata lain Taik Lembu Muda.
Kotoran yang berbentuk rumput ( seperti ditumbuk ) diperas untuk diambil sarinya. Air sari yang berwarna hijau befungsi sebagai kuah, ditambah bumbu seperti asam, jahe, kunyit, sereh, cingkam, dan rempah lain, terites dimasak dengan babat, kikil, kaki kambing, atau kepala kamping/sapi selama kurang lebih tiga jam. Namun bila dimasak oleh yang bukan ahlinya akan terasa berabu ami.
Aroma khas yang dihasilkan oleh perasan kotoran sapi/kambing member cita rasa tersendiri. Memang kalau dilihat dari warna kaldu dan aroma nya yang menyengat dan khas membuat orang akan enggan memakannya. Aku dulu juga gak suka dengan makanan ini tapi ternyata setelah dicoba hmmmm....ueeenaaaakkk !!!! Kalu gak percaya coba aja sendiri. Sekarang makanan ini bisa anda jumpai di rumah makan khas karo. Sekali anda mencoba pasti akan minta terus.... Kandungan tanin pada terites dapat mengobati penyakit, selain itu terites juga dipercaya dapat mengobati maag.

6.tasak telu

secara harafiah berarti "masak tiga" atau "tiga masakan". Masakan pertama adalah ayam rebus. Setelah direbus dengan bumbu, air rebusannya disisihkan dan disajikan sebagai kuah atau sup. Ayam rebusnya – termasuk jeroannya – dipotong-potong untuk disajikan. Bila dikehendaki, ayam rebus ini dapat dimasak lagi sebentar dengan darah ayam. Dalam bahasa setempat, darah disebut "gota" yang sebenarnya berarti getah.

Bagian tulang-tulangnya dimasak lagi dengan sebagian kuah dan dicampur dengan ciperah – bulir jagung tua yang ditumbuk halus. Dengan tambahan bumbu-bumbu, campuran ini menjadi kuah kental yang gurih. Kuah kental ini – sebagai elemen kedua dari sajian ayam tasak telu – nanti diguyurkan pada ayam rebus ketika menyantapnya.

Elemen ketiganya adalah cincang sayur. Berbagai sayur rebus – kacang panjang, batang pisang, jantung pisang, daun pepaya, daun singkong, tauge – diurap dengan parutan kelapa berbumbu.

7.cimpa

Cimpa banyak berbagai macamnya seperti cimpa tuang, cimpa bulung singkut, cimpa bohan dan jong labar, dia sejenis denga lappet dari daerah batak

8.Babi panggang karo
babi pangang karo, tak asing lagi masyarakat karo, yang terdiri sop, pangang babi, dan umbut atau daun ubi tumbuk

Sabtu, 01 Mei 2010

BERU GINTING SOPE MBELIN

BERU GINTING SOPE MBELIN Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin. Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil. Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring. Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu. Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya. Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana. Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya. Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak. Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat. Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali. Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual. Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh. Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini. Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya. Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu. Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri. Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka. Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ. Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana. Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati. Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana. Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain: a. gendang si ngarak-ngaraki; b. gendang perang si perangen; c. gendan perang musuh; d. gendang mulih-mulih; e. gendang ujung perang; f. gendang rakut; g. gendang jumpa malem; h. gendang morah-morah; i. gendang tungo-tungko. Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri. Sumber: Alm. DR. Henry Guntur Tarigan Yayasan Merga Silima

Sabtu, 03 April 2010


MISTERI DELENG PERTEKTEKKEN ( GUNUNG SIBAYAK ) Versi ke - 2



 

Deleng Pertektekken dikenal sangat angker. Apapun yang melintas di atasnya akan jatuh dan mati. Kabarnya, tempat ini adalah tempat pembuangan ilmu sakti dari seorang dukun. Konon, jatuhnya pesawat Foker di sekitar pegunungan Sibayak disebabkan pula oleh keberanian awak pesawat tersebut melintasi daerah keramat ini.Jangankan pesawat, kupu-kupu atau burung yang berani terbang di atas Pertektekken akan mati secara mengenaskan. Memang, daerah yang terletak di kaki bukit Pertektekken di bagian Selatan dan berdekatan dengan gunung Sibayak memiliki kisah mistik yang menyeramkan. Kisah itu berawal dari sebuah desa, Daulu yang hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat ini. Daulu terletak di bagian Selatan kota Medan, kira-kira 55 kilometer.Konon di desa Daulu ada sepasang dukun sakti yang bernama Pawang Ternalem dan Berru Pattimar. Dikisahkan sepasang dukun tersebut sering mengembara ke berbagai daerah untuk melakukan pengobatan dengan meninggalkan kedua anakanya.Kabarnya ketika mereka mengembara, kedua anaknya jatuh sakit. Seorang tetangga mengabarkan berita menyedihkan ini kepada sepasang dukun tersebut. Namun Pawang Ternalem dan istrinya menolak pulang. Mereka berpikir, kalaupun anaknya sakit atau sampai meninggal dunia mereka toh bisa menghidupkan lagi.Benar, selang beberapa saat tetangganya datang lagi dan mengabarkan bahwa anaknya telah meninggal dunia. Sepasang dukun sakti ini enggan untuk pulang. Pasalnya, hanya dengan satu centimeter tulang yang masih tersisa mereka mampu menghidupkan kembali anaknya.Sial tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika Pawang Ternalem pulang ke rumah, didapati kuburan anaknya telah kosong. Kabarnya, jasad anaknya telah dicuri oleh dukun yang lebih sakti lagi. Ia adalah Nini Kertah Ernala, penunggu gunung Sibayak. "Bila ingin bertemu bentangkan kain putih. Ingat, jangan menjamah anak itu karena bayangan tersebut akan lenyap," pesan Nini Kertah.Sepasang dukun tersebut menjalankan pesan Nini Kertah. Ketika mereka membentangkan kain putih maka wajah kedua anak itupun muncul. Karena rindu yang begitu mendalam, Beru Pattimar memeluk kedua anaknya. Namun bayangan itupun tiba-tiba menghilang. Pasangan ersebut sangat terpukul dengan kematian anaknya. Apalagi mereka tak mampu menghidupkan lagi.Rasa kecewa yang mendalam menyebabkan mereka sepakat untuk membuang ilmunya. "Apalah artinya ilmu dan kekayaan yang kita miliki kalau anak kita tak bisa kembali. Marilah sekarang juga kita buang semua ini," katanya sambil menuju ke sebuah kaki bukit. Sebelum memotong alat perdukunannya, Beru Pattimar sempat bersumpah, "Apapun yang nantinya melintas di atas kepalaku akan mati". Seketika tempat itupun seperti meledak, menerima sumpah saktinya.Kabarnya sumpah sakti dari Beru Pattimar benar-benar menjadi kenyataan. Penduduk yang mencari kayu di tempat ini sering menemukan bangkai burung yang mati. Malah mereka pun sering menemukan bangkai harimau atau beruang yang mereka ambil kulitnya untuk membuat perhiasan. Benarkah sumpah sakti itu yang menjadi sumbernya?Hanya Tuhan Yang Tau
 

MISTERI DELENG PERTEKTEKKEN ( GUNUNG SIBAYAK ) Versi ke - 1



 

Guru Pertawar Reme adalah seorang dukun terkenal di kawasan Tanah Karo. Dia mampu mengobati berbagai penyakit termasuk penyakit reme (cacar) yang mengerikan itu. Pada suatu ketika penyakit berkecamuk di daerah Alas (Aceh). Guru Pertawar Reme berangkat ke sana untuk mengobati penyakit tersebut.
 

Berbulan-bulan lamanya dia di daerah itu dan telah banyak uang diperolehnya sebagai hasil dari pengobatannya. Namun pada suatu hari datang seseorang laki-laki dari Tanah Karo memberitahukan kepadanya bahwa anaknya dalam keadaan sakit keras. Guru Pertawar Reme kurang peduli dan karena merasa bahwa dia memiliki ilmu yang begitu hebat, maka dia berkata : “Tak usah sangsi, asalkan masih ada tulangnya sebesar sisir, dia masih dapat ku sembuhkan.” Si pembawa beritapun pulanglah dengan hati yang kesal.



Setelah lebih kurang 6 bulan berada di daerah Alas, Guru Pertawar Reme pulang ke kampungnya. Namun setelah dia samapi dirumahnya dia tidak menemukan anaknya lagi. Kepadanya dibertahu orang bahwa ketiga anaknya telah meninggal dunia dan telah dikuburkan di kaki Gunung Sibayak.



Guru Pertawar Reme bersama beberapa orang kawanannya pergi ke tempat itu. Kuburan ketiga putrinya itu digalinya dan kerangkanya dikeluarkan. Mulailah Guru Pertawar Reme mengucapkan mantra dan menggunakan semua ilmunya. Namun sia-sia belaka, anaknya tidak dapat muncul, hanya tulang –belulang yang dihadapinya, dia sangat sedih dicobanya lagi, tetapi tetap tidak berhasil. Akhirnya terdengar suara : “Sudahlah, tidak ada gunanya lagi kami diobati, rupanya nasib kami hanya begini. Kami telah menjadi penunggu dan kramat gunung ini.” Setelah itu hilanglah tulang-tulang terbeut menjelma menjadi batu. Ketiga putrinya itu dikenal dengan nama Beru Tandang Kumerlang, Beru Batu Ernala, dan Beru Baru Erlunglung.
 

Kuburannya Guru petawar reme sampai sekarang masih ada, yaitu di desa kandibata. Lokasinya persis lewat titi l.au biang desa kandibata. lit kari tekongan jalan ke kiri, ada suatu bukit kecil. di bukit kecil itu ada kuburan tua. Pusarannya bersih, dan tidak pernah ditumbuhi rerumputan.Daerah angker, itulah kuburan guru pertawar remai, yang konon karena saktinya guru mbelin itu bisa menghidupkan dua putrinya yakni tandang suasa dan tandang kumerlap, walau pun nanti tulang belulangnya hanya tersisa sebesar sisir.
 

Mendengar keangkuhan dan kesombongan guru petawar remai ini, keramat lau biang, melaporkan hal tersebut ke keramat deleng sibayak. e me i kataken nini kertah.ernala Lalu dicurilah tulang belulang dua puteri ini.singkat cerita, saat pulang guru petawar remai tadi dari kuta kalak, tulang belulang dua putrinya itu hilang dari kuburan. saat ayahnya mau menghidupkan kedua putrinya itu kembali. Sampai akhirnya guru mbelin itu melakukan upacara raleng tendi (memanggil roh).Disitulah nini  kertah memberi kesempatan terakhir kepada guru petawar remai itu, untuk bicara dengan dua putrinya melalui kain dagangen (kain kafan).Dengan percakapan terakhir anaknya berkata: "regan akapndu emas perak asangkan suasa bapa. Regan akapndu herta asangken anakndu bapa," begitulah penggalan katanya lalu guru pertawar remai itu, merigep alias menerkam kain dagangen ah ndai, i je me lausna tendi anaknya.merasa sia-sia semua kesaktiannya. yang konon jimatnya itu disimpan di dalam kendi-kendi, maka dengan sumpahnya di sebuah bukit dekat kaki gunung sibayak, mengatakan, " gundari kuperpeltep ketangkan nge kandi enda ras aq i jenda. adi kune pepagi ersada ketang enda enca kutektek, e maka ersada mulihi aq ras anakku.
   

 Dengan kecewa dan emosi, i tektekna me ketang ndai i je ras kendina. Ketang ndai pe retap, kendi-kendi si isina jimat entah pe adi isitlah guru mbelin pupuk ndai, pe pecah merap marpar la terpumahi. Ban i je ingan perpadanan entah pe sumpah guru mbelin pertawar remai, jenari me ikatakan gelarna deleng pertektekken.Je nari berangkat kita, ku gelar kuta kandi bata ingan guru pertawar remai ndai i kuburken. Kandi bata berasal dari kata kandi-kandi dibata. Yang artinya, karena begitu hebatnya jimat guru pertawar remai yang disimpannya di kendinya dan bisa menghidupkan orang mati, maka disebut kandi-kandi dibata. dan akhirnya desa itu pun bernama Kandibata sampai sekarang.

CERITA BUAH ENAU ATAU BUAH KELTO

Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan sang abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Sibou menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.



KemenanganNya membuka mata, hati dan pikiran kita,akan betapa besar cinta, kasih sayang serta anugerah Yesus Kristus bagi kehidupan kita. - Kemenangan Dia atas maut kiranya membuat kita yakin dan penuh kepastian dalam menjalani hidup ini.
 
 
saya mengucapkan SELAMAT PASKAH BUAT
KELUARGA BESAR SAYA:-MELIALA SE DUNIA
                                                 -MELIALA JABERNEH NARI
                                                 -MELIALA KIDUPEN
                                                 -GINTING SUKA RUMAH PENGGULUN RAS RUMAH PAGE
                                                 -TARIGAN GIRSANG NAGASARIBU NARI
                                                 -TARIGAN GIRSANG KUTAMBARU NARI (KEC.TANAH PINEM)
                                                 -BARUS RAS SINURAYA SI BUNURAYA NARI
                                                 -ANAK KUTA TIGALINGGA BATUERDAN SEKITARNA
                                                 -ANAK KUTA SURBAKTI RAS NDOKUM SIROGA
                                                 -ANAK KUTA BUNURAYA
                                                 -ANAK KUTA KUTAMBARU KEC.TANAH PINEM
                                                 -PERMATA SION RG.CINTADAMAI
                                                 -PERMATA KLASIS MEDAN KP.LALANG
                                                 -RG.GBKP CINTADAMAI
                                                -RAS KELUARGA BESARKU SI IJA PE RINGAN
                                                -RAS NGAWAN GBKP IJA PE RINGAN
                                  

PERBEDAAN ARTI SEMBUYAK DAN SENINA

PERBEDAAN ANTARA SEMBUYAK DAN SENINA

Ditulis Juara Rimantha Ginting

Baru aku sadari bahwa ternyata sembuyak dan senina itu berbeda,hal ini aku mengertii setelah membaca infonya di salah satu blog.

berikut info yg aku copy-paste dari blog tsb.

Saudara Roy Sinulingga menyebut saya mbuyak (sembuyak) dalam diskusi PA PERMATA, hanya karena saya bermarga Karo-karo.Secara sepintas saya menduga dia berasal dari Berneh atau Si Ngalor Lau karena di sana sesama merga menggunakan kata mbuyak atau sembuyak sebagai panggilan akrab. Berbeda halnya dengan daerah Julu dan Gunung-gunung, sesama Karo-karo, misalnya, menggunakan istilah senina sebagai panggilan akrab. Dalam pertuturen resmi, semua daerah Karo mengikuti aturan sama. Sesama Ginting atau Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan sudah bisa saling menyebut senina. Mereka bisa juga saling menyebut sembuyak bila mereka berasal dari sub merga sama atau sub merga mereka punya hubungan sejarah khusus. Tapi hubungan sembuyak antara sub merga sebenarnya tidak begitu sederhana.Ginting Munte bisa berhubungan sembuyak dengan Ginting Manik, Jawak, Sinusinga dan Tumangger tapi tidak dengan sub-sub merga yang tergabung dalam Siwah Sada Ginting seperti Suka, Jadibata dan lain sebagainya. Sesama Munte yang berasal dari Si Pitu Kuta Ajinembah berhubungan sembuyak, tapi Munte Ajinembah dengan Munte Tengging hanya berhubungan senina. Sesama Sitepu Teran berhubungan sembuyak tapi antara Sitepu Si Empat Teran dengan Sitepu Si Enem Kuta berhubungan senina. Masih banyak contoh lain yang lebih rumit lagi.Sekarang ini banyak orang Karo menganggap sembuyak dan senina sama sehingga mereka dia menerima sistim sangkep sitelu atau daliken sitelu atau rakut sitelu dengan formasi sembuyak/ senina, anak beru dan kalimbubu. Untuk membuktikan bahwa sembuyak dan senina tidak sama sangat mudah. Senina bisa melalui perkawinan seperti senina siparibanen, senina sipemeren dan senina sendalanen. Tapi sembuyak hanya bisa melalui garis keturunan bapa.Kalau sembuyak dan senina sudah jelas tidak sama, mengapa kita ikut- ikutan meminjam istilah Minang (tiga tungku sejarangan) dan istilah Toba Dalihan Na Tolu? Itu kan empat (sembuyak, senina, anak beru, kalimbubu), bukan tiga? Dalam penelitian saya Toba juga punya empat; dongan saboltok, dongan tubu, anak boru dan hula-hula.Inilah salah satu contoh bahwa konsep yang kita sudah pergunakan secara kokoh dan percayai tentang kebudayaan tradisional Karo tak tahunya buatan Barat alias Trinity dalam agama Kristen.Sampai ketemu dalam acara destruktif yang lain.

SIFAT2 ORANG KARO MENURUT MARGANYA

Manusia karo tidak terlepas dari keberagaman sifat. Dibawah ini akan dijabarkan sedikit tentang sifat-sifat si lima merga.

Karo-karo
Merga karo-karo rata-rata cerdas dalam berpikir dan bertindak. ini terbukti dengan orang karo yang meraih gelar sarjana pertama kali adalah Dr. B.Sitepu dan Mr. Jaga Bukit. Profesor pertama dari karo adalah Prof. A.T. Barus. Gubernur Sumatera Utara dari karo pertama kali adalah Ulung Sitepu. Sampai Menteri dari karo yang pernah diangkat adalah M.S.Kaban.
Karo-karo biasanya berkemauan kuat dan dan berusaha keras meraih cita-citanya. Karena kemauan dan kerja kerasnya itu tidak sedikit karo-karo berhasil meraih segala keinginannya.
Beru karo terkenal berani dalam bertindak. Ketika ada yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya maka apapun bias dikata-katainya. Cenderung bersifat mendominasi dalam rumah tangga. Tapi beru karo terkenal kepintarannya sebagai penyeimbang rumah tangga.

Ginting
Merga ginting lantang dalam berbicara. Kalau memang pendapatnya benar akan terus dipertahankannya. Siapa yang tidak kenal nama yang sudah didedikasikan menjadi salah satu jalan terpanjang di negeri ini, Letjend Jamin Ginting. Termasuk anggota MPR RI, Sutradara Ginting yang pintar dalam mengungkapkan pendapatnya.
Tidak takut untuk memulai sesuatu yang baru. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Cenderung patuh pada isterinya.
Beru Ginting terkenal tidak malu tampil ketengah. Kalau belum berbuat sesuatu rasanya belum ada kepuasan dalam dirinya. Keberaniannya terkadang tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi terhadap tindakannya.

Sembiring
Merga Sembiring rata-rata berjiwa diplomatis. Sedikit berbicara tapi dalam artinya. Terkadang pelan-pelan mengutarakan pendapatnya sehingga keinginan hatinya diterima semua orang. Siapa yang tidak kenal dengan keturunan sibayak Sarinembah, Myjend Raja Kami Sembiringdengan vocalnya yang menghebohkan gedung MPR RI Senayan beberapa tahun lalu. Kriminolog Adrianus Meliala juga termasuk salah satu contoh.
Cenderung malu dan takut mengutarakan cinta pada gadis yang dipujanya. Bahkan sekalipun ditanya apakah dia mencintai gadis itu, dengan cepat akan ditampiknya dengan halus.
Beru Sembiring berjiwa penyabar. Walau banyak yang tidak menyenangi dirinya dengan sabar dia akan menerimanya. Cenderung sebagai penguasa rumah tangga. Sehingga rumah tangga berada dibawah kendalinya.



Tarigan
Merga Tarigan pintar berbicara. Di kedai kopi ataupun jambur semua obrolan akan didominasinya. Cepat berkelitdalam berkata-kata jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Karena pintar berkata-kata rata-rata merga Tarigan berjiwa dagang. Mulia Tarigan adalah salah satu contohnya. Juga Mestika br Tarigan menjadi psikolog terkenal saat ini.
Beru Tarigan bersifat pasrah terhadap sesuatu yang didapatnya. Apa yang dikatakannya terkadang berbeda dengan isi hatinya.

Perangin-angin
Merga ini disebut dengan julukan tambar malem (selain sebayang). Tambar malem maksudnya disini adalah kepintaran dalam berkata-kata untuk menghibur orang. Jika ada orang mengalami masalah, perangin-angin pintar memakai lidahnya untuk menghibur dan mencari solusi jalan keluarnya. Bersifat Moderator dan Mediator.
Cenderung harus dibujuk-bujuk(tami-tami) dan cemburuan. Berani dalam bertindak dan mengungkapkan pendapatnya. Aktor kawakan Advent Bangun yang telah memakai lidahnya dalam berkhotbah dimimbar gereja. Termasuk perjuangan Kiras Bangun alias Pa Garamata dalam mempertahankan kemerdekaan ini.
Beru Perangin-angin berjiwa ingin tampil. Ada sesuatu kebanggaan jika dirinya diperhatikan orang. Bersifat menguasai keluarganya sendiri. Kepintarannya dalam mencari muka pada orang tuanya terkadang membuat perselisihan denhan turangnya sendiri.


Sifat-sifat merga diatas tidak bias menjadi tolak ukur bagi kita untuk menyimpulkan sifat seseorang dari merganya. Perkembangan zaman, kehidupan social dan perkawinan dengan berbagai suku sedikit demi sedikit mengikis sifat-sifat merga itu sendiri.

Catatan kecil tentang sifat rang karo
Orang karo itu tidak terlalu rajin tetapi bukan pemalas.

SEJARAH MERGA2 DI ORANG KARO

BUDAYA KARO ( SEJARAH MERGA-MERGA )


Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga didasarkan pada Merga Silima, yaitu ;

Ginting
Karo-Karo
Peranginangin
Sembiring
Tarigan

Sementara Sub Merga, dipakai di belakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut.
Adapun Merga dan Sub Merga serta sejarah, legenda, dan ceritanya adalah sebagai berikut


Merga Ginting

Merga Ginting terdiri atas beberapa Sub Merga seperti :

Ginting Pase

Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe.
Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru Ginting Pase. (Petra : Bisa dibaca di sini)


Ginting Munthe
Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.


Ginting Manik
Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.

Ginting Sinusinga

Ginting Seragih
Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.

Ginting Sini Suka
Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan Satu Ginting), yakni :

Ginting Babo
Ginting Sugihen
Ginting Guru Patih
Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)
Ginting Beras
Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)
Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
Ginting Ajar Tambun
Ginting Jadi Bata

Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte.
Ginting Jawak
Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo.

Ginting Tumangger
Marga ini juga ada di Pak Pak, yakni Tumanggor.

Ginting Capah
Capah berarti tempat makan besar terbuat dari kayu, atau piring tradisional Karo. (Petra : Which is saya juga belum tahu yang mana, atau tahu tapi gak tau sebutannya )


Merga Karo-Karo

Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga, yaitu :
Karo-Karo Purba

Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga :
Purba
Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata.

Ketaren

Dahulu merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler (referensi K.E. Ketaren).


Sinukaban

Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban..
Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :
Karo-Karo Sekali
Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa.
Sinuraya/Sinuhaji
Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung Aji.
Jong/Kemit
Merga ini mendirikan kampung Mulawari.
Samura
Karo-Karo Bukit
Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri normal.
Karo-Karo Sinulingga
Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe. Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan kampung Lingga. Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :
Kaban
Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah,
Kacaribu
Merga ini medirikan kampung Kacaribu.
Surbakti
Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi Merga Torong.
Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai Karo-Karo Ulun Jandi. Merga Lingga juga terdapat di Gayo/Alas dan Pak Pak.
Karo-Karo Kaban
Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan menetap di Bintang Meriah dan Pernantin.
Karo-Karo Sitepu
Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.
Karo-Karo Barus
Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Sibelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.
(Petra : Wuih, sejarah nenek moyang gw jelek juga, ya….)
Karo-Karo Manik
Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik.
Merga Peranginangin
Merga Peranginangin terbagi atas beberapa sub merga, yakni :
Peranginangin Sukatendel
Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi menjadi :
Peranginangin Kuta Buloh
Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.
Peranginangin Jombor Beringen
Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.
Peranginangin Jenabun
Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama nahkoda tersebut tinggal.
Peranginangin Kacinambun
Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.
Peranginangin Bangun
Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang. Merga ini juga pecah menjadi :
Keliat
Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.
Beliter
Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.
Peranginangin Mano
Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.
Peranginangin Pinem
Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama Enggang yang bersaudara dengan Lambing, nenek moyang merga Sebayang dan Utihnenek moyang merga Selian di Pakpak.
Sebayang
Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain. Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo/Alas.
Peranginangin Laksa
Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar.
Peranginangin Penggarun
Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku Karo.
Peranginangin Uwir
Peranginangin Sinurat
Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.
Peranginangin Pincawan
Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.
Peranginangin Singarimbun
Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.
Peranginangin Limbeng
Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul Sejarah dan Kebudayaan Karo.
Peranginangin Prasi
Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru.