Rabu, 26 Mei 2010

DIALEK BAHASA KARO

Dialek dalam Bahasa Karo umumnya dikenal dalam 3 buah pembagian
  1. Dialek Gunung-Gunung (Cakap Karo Gunung-Gunung)
    Dialek ini digunakan di daerah Kecamatan Munte, Juhar, Tiga Binanga, Kutabuluh, dan Mardinding.
    dialek1
  2. Dialek Kabanjahe (Cakap Orang Julu)
    Dialek ini digunakan di daerah Kecamatan Kabanjahe, Tiga Panah, Barus jahe, Simpang Empat, dan Payung.
    dialek2
  3. Dialek Jahe-jahe (Cakap Kalak Karo Jahe)
    Dialek ini digunakan di Kecamatan Pancur Batu, Biru-Biru, Sibolangit, Lau Bekerei, Namo Rambe (termasuk kabupaten Deli Serdang) dan di daerah Kabupaten Langkat (Hulu) sperti Selapan, Kuala, Bahorok, dan sebagainya.
    dialek3
peta

PAKAIAN ADAT KARO

1. Uis Beka Buluh




Ukuran : 166 x 86 Cm

Uis Beka Buluh memiliki ciri Gembira, Tegas dan Elegan. Kain Adat ini merupakan Simbol Wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra Karo.

Penggunaan:
  • Sebagai Penutup Kepala. Pada saat Pesta Adat, Kain ini dipakai Pria/putra Karo sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan. Kain ini dilipat dan dibentuk menjadi Mahkota pada saat Pesta Perkawinan, Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara Kematian bagi Orang Tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut)
  • Sebagai Pertanda (Cengkok-cengkok /Tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai ke bahu dengan bentuk lipatan segi tiga.
  • Sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu (Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) sehingga berhasil dalam hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh.


2. Uis Jongkit dilaki.




Ukuran : 172 x 96 Cm

Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter kuat dan perkasa.

Penggunaan :
  • Sebagai pakaian luar bagian bawah untuk Laki-laki yang disebut gonje (sebagai kain sarung). Kain ini dipakai oleh Putra Karo untuk semua upacara Adat yang mengharuskan berpakaian Adat Lengkap.

3. Uis Gatip



Ukuran : 164 x 96 Cm

Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter Teguh dan Ulet

Penggunaan :
  • Sebagai Penutup Kepala wanita Karo (tudung) baik pada pesta maupun dalam kesehariannya.
  • Untuk beberapa daerah, diberikan sebagai tanda kehormatan kepada kalimbubu pada saat wanita Karo meninggal Dunia (Maneh-maneh dan morah-morah)


4. Uis Nipes Padang Rusak



Ukuran : 146 x 74 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam sehari-hari.

5. Uis Nipes Benang Iring



Ukuran : 154 x 62 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita.


6. Uis Ragi Barat / Ragi Mbacang



Ukuran : 144 x 65 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat sukacita maupun dalam keseharian.
  • Lapisan luar pakaian wanita bagian bawah (sebagai kain sarung) untuk kegiatan pesta sukacita yang diharuskan berpakaian adat lengkap.


7. Uis Jujung-jujungen



Ukuran : 120 x 54 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai hanya untuk lapisan paling luar penutup kepala wanita (tutup tudung) dengan umbai-umbai emas pada bahagian depannya.



8. Uis Nipes Mangiring



Ukuran : 148 x 64 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai wanita Karo sebagai selendang bahu dalam upacara adat duka cita


9. Uis Teba




Ukuran : 146 x 84 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai wanita Karo lanjut usia sebagai tutup kepala (tudung) dalam upacara yang bersifat duka cita
  • Pada beberapa daerah, kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu (Maneh-maneh) pada saat orang yang sudah lanjut usia meninggal.

10. Uis Pementing




Ukuran : 168 x 72 cm

Penggunaan :
  • Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung.



11. Uis Julu diberu




Ukuran :

Penggunaan :

  • Untuk pakaian wanita bagian bawah (sebagai sarung) untuk upacara adat yang diharuskan berpakaian adat lengkap.

12. Uis Arinteneng



Ukuran : 140 x 84 cm

Penggunaan :
  • Alas pinggan pasu yang dipakai pada waktu penyerehan mas kawin
  • Alas piring makan pengantin saat makan bersama dalam satu piring pada malam hari usai pesta peradatan (man nakan persadan tendi/mukul)

13. Perembah



Ukuran : 160 x 67 cm

Penggunaan :
  • Untuk menggendong bayi
  • Untuk anak pertama, perembah diberikan oleh Kalimbubu seiring doa dan berkat agar anak tersebut sehat-sehat, cepat besar dan menjadi orang sukses dalam hidupnya kelak.

14. Uis Kelam-kelam



Ukuran : 169 x 80 cm

Kain ini bukan kain tenun manual, tapi hasil pabrik tekstil yang dicelup warna hitam menggunakan pewarna alami.
Penggunaan :
  • penutup kepala wanita Karo (tudung teger) waktu pesta adat dan pesta guro-guro aron.
  • Kain ini juga digunakan sebagai tanda penghormatan kepada puang kalimbubu pada saat wanita lanjut usia meninggal dunia (morah-morah)

makanan karo

A.makanan khas karo
1. kidu-kidu

kidu kidu adalah masakan dari karo yang berupa ulat dari pohon enau cara memasaknya
Setelah dibersihkan kidu ini digoreng agar bagian luarnya renyah, tetapi tidak sampai pecah agar cairan di dalamnya masih utuh. Kidu goreng ini kemudian dimasak sebentar dalam kuah arsik – kunyit, kemiri, bawang merah, bawang putih, andaliman, kincung (kecombrang) – yang sebelumnya sudah mendidih tanak.
2.cipera


Ciri khas cipera adalah ayam kampung santan pakai bubuk jagung
3.Arsik

arsik Karo lebih kering dibandingkan arsik batak yang berkuah.
4.saksang

Masakan khas karo lainnya adalah saksang, yg dimasak mengunakan bumbu bumbu khas karo, yg dipakai adalah daging babi
5.pagit pagit/teritis


Terites ini merupakan makanan khas yang biasanya dibuat atau disajikan pada saat pesta besar seperti Merdang Merdem (Pesta Panen Tahunan). Banyak orang diluar Karo yang menggemarinya karena rasanya yang legit dan melam. Banyak yang menyebutnya Soto Karo, karena penyajian dan penampilannya yang hampir sama soto yang umum kita kenal, dimana makanan ini juga terbuat dari berbagai jenis sayuran dan berisi jeroan atau bagian dalam Sapi, Kerbau, atau kambing.
Kira-kira apa ya yang membedakan Terites (Soto Karo) ini dengan soto pada umumnya yang kita kenal….? Yang membedakan adalah kaldu alias kuahnya. Kalau soto yang biasa ada dipasaran, kuahnya atau kaldunya mengunakan santan kelapa dan bumbu khusus untuk soto, nah kalau yang satu ini ada tambahanya yaitu kaldu yang di ambil dari rumput yang ada pada lambung pertama Sapi, Kerbau, atau Kambing. Ups..... tapi jangan salah rumput ini belum jadi kotoran karena rumput ini diambil bukan dari usus besar nya atau bagian sistem pencernaan. Rumput ini masih segar karena ketika kerbau atau sapi memakan rumput maka rumput yang baru di mamah di mulut akan ditelan dan dimasukan kedalam lumbung penyimpanan (perut besar) dimana kemudian akan di mamah kembali baru rumput tersebut akan dimasukan kebagian pencernaan, makanya kerbau ngak pernah berhenti mengunyah(ingat pelajaran IPA waktu sekolah dulu tentang hewan memamah biak). Nah di kantung penyimpanan itulah rumput tersebut di ambil. Dengan kata lain Taik Lembu Muda.
Kotoran yang berbentuk rumput ( seperti ditumbuk ) diperas untuk diambil sarinya. Air sari yang berwarna hijau befungsi sebagai kuah, ditambah bumbu seperti asam, jahe, kunyit, sereh, cingkam, dan rempah lain, terites dimasak dengan babat, kikil, kaki kambing, atau kepala kamping/sapi selama kurang lebih tiga jam. Namun bila dimasak oleh yang bukan ahlinya akan terasa berabu ami.
Aroma khas yang dihasilkan oleh perasan kotoran sapi/kambing member cita rasa tersendiri. Memang kalau dilihat dari warna kaldu dan aroma nya yang menyengat dan khas membuat orang akan enggan memakannya. Aku dulu juga gak suka dengan makanan ini tapi ternyata setelah dicoba hmmmm....ueeenaaaakkk !!!! Kalu gak percaya coba aja sendiri. Sekarang makanan ini bisa anda jumpai di rumah makan khas karo. Sekali anda mencoba pasti akan minta terus.... Kandungan tanin pada terites dapat mengobati penyakit, selain itu terites juga dipercaya dapat mengobati maag.

6.tasak telu

secara harafiah berarti "masak tiga" atau "tiga masakan". Masakan pertama adalah ayam rebus. Setelah direbus dengan bumbu, air rebusannya disisihkan dan disajikan sebagai kuah atau sup. Ayam rebusnya – termasuk jeroannya – dipotong-potong untuk disajikan. Bila dikehendaki, ayam rebus ini dapat dimasak lagi sebentar dengan darah ayam. Dalam bahasa setempat, darah disebut "gota" yang sebenarnya berarti getah.

Bagian tulang-tulangnya dimasak lagi dengan sebagian kuah dan dicampur dengan ciperah – bulir jagung tua yang ditumbuk halus. Dengan tambahan bumbu-bumbu, campuran ini menjadi kuah kental yang gurih. Kuah kental ini – sebagai elemen kedua dari sajian ayam tasak telu – nanti diguyurkan pada ayam rebus ketika menyantapnya.

Elemen ketiganya adalah cincang sayur. Berbagai sayur rebus – kacang panjang, batang pisang, jantung pisang, daun pepaya, daun singkong, tauge – diurap dengan parutan kelapa berbumbu.

7.cimpa

Cimpa banyak berbagai macamnya seperti cimpa tuang, cimpa bulung singkut, cimpa bohan dan jong labar, dia sejenis denga lappet dari daerah batak

8.Babi panggang karo
babi pangang karo, tak asing lagi masyarakat karo, yang terdiri sop, pangang babi, dan umbut atau daun ubi tumbuk

Sabtu, 01 Mei 2010

BERU GINTING SOPE MBELIN

BERU GINTING SOPE MBELIN Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin. Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil. Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring. Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu. Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya. Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana. Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya. Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak. Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat. Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali. Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual. Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh. Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini. Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya. Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu. Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri. Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka. Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ. Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana. Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati. Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana. Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain: a. gendang si ngarak-ngaraki; b. gendang perang si perangen; c. gendan perang musuh; d. gendang mulih-mulih; e. gendang ujung perang; f. gendang rakut; g. gendang jumpa malem; h. gendang morah-morah; i. gendang tungo-tungko. Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri. Sumber: Alm. DR. Henry Guntur Tarigan Yayasan Merga Silima