Minggu, 26 Oktober 2008

TUgas kedua

Budaya Karo - Religi Rakyat

Dalam hal alam pemikiran dan kepercayaan, orang Karo (yang belum memeluk agama Islam atau Kristen) erkiniteken (percaya) akan adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari

  1. Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang menguasai alam raya/langit
  2. Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia
  3. Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai di bawah atau di dalam bumi

Dibata ini disembah agar manusia mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan. Dan apabila tenaga gaib yang merupakan kekuatan perkasa dari maha pencipta -dalam hal ini Dibata yang menguasai baik alam raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah- disembah maka permintaan akan terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian melakukan berbagai variasi untuk melakukan penyembahan.

Mereka juga percaya bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“, sewaktu-waktu bisa meninggalkan jasad/badan manusia. Kalau hal itu terjadi maka diadakan upacara kepercayaan yang dipimpin oleh Guru Si Baso (dukun) agar tendi tadi segera kembali kepada manusia yang bersangkutan. Jika tendi terlalu lama pergi, dipercaya bahwa kematian akan menimpa manusia tersebut. Mereka juga percaya bahwa jika manusia sudah meninggal maka tendi akan menjadi begu atau arwah.

Banyak upacara ritual yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan, kebahagiaan hidup, dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi mimpi buruk, maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi kelahiran anak, kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain. Di semua kegiatan ritual ini peranan para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar.

Mereka yang berkepercayaan demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu. Tapi terlepas dari maksud pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas, yang secara kasar dapat diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka menyatakan bahwa mereka percaya adanya Dibata yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada tenaga gaib atauu kekuatan maha dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja menurut kehendaknya. Kalaupun ada dilakukan upacara ritual berupa persembahan, maka persembahan itu maksudnya adalah kepada Dibata tadi, hanya saja penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.

Dengan demikian, pada perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam alam fikiran dan kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan dengan roh keluarga yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang mereka hormati sebagai pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat. Mereka juga percaya bahwa pada kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan anak cucu mereka.

Meski sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik, Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.

Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo

Melanjutkan post kemarin tentang Budaya Karo. Terima kasih buat yang sudi capek-capek membaca dan sumber yang sudi dicopy-paste.

Sekarang sedikit iseng-iseng lagi ngepost tentang sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Seluruh isi post ini disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo : Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Tujuan sebenarnya ngepost ini adalah untuk menambah wawasan pribadi tentang kekerabatan di masyarakat Karo, jadi mohon maaf dan pembetulan kalau ada kesalahan pada post ini smiley.

Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup).

Menurut Drs. Pertampilan Brahmana, konsep ini tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi juga ada dalam masyarakat Toba dan Mandailing dengan istilah Dalihan Na Tolu juga masyarakat NTT dengan istilah Lika Telo

Unsur Daliken Sitelu ini adalah

  • Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))
  • Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))
  • Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing))

Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

Sistem Perkawinan

Sistem Endogami. Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya sendiri. Di Indonesia contoh perkawinan seperti ini menurut Van Vollenhoven hanya terdapat di Toraja saja (Surojo Wignodipuro, SH. 1973 : 152).
Sistem Exogami. Pada sistem iniseseorang diharuskan kawin dengan orang lain diluar marganya (clannya) atau keluarganya. Perkawinan demikian terdapat juga di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. (Surojo Wignodipuro, SH. 1973 : 152).
Sistem Eleutherogami. Pada Sistem ini tidak dikenal larangan atau keharusan untuk kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada hanyalah yang bertalian dengan ikatan darah atau kekeluargaan (turunan) yang dekat. Sistem perkawinan seperti ini terdapat juga di Aceh, Sumatera Bagian Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa Madura.Sistem Perkawinan pada masyarakat Karo terdiri dari :

Sistem perkawinan pada Merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan. Pada merga-merga (baca : marga) tersebut diatas, berlaku sistem perkawinan exogami murni, dimana mereka yang berasal dari sub-sub merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan diharuskan kawin dengan orang lain dari luar merganya, atau dilarang kawin semarga.
Sistem perkawinan pada Merga Perangin-angin dan Sembiring. Sistem perkawinan pada kedua merga ini adalah elutherogami terbatas. Adapun letak keterbatasannya adalah seseorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembirirng diperbolehkan kawin dengan orang dari merga yang sama, tetapi sub merga (lineagea)-nya berbeda. Misalnya dalam merga Perangin-angin, antara Bangun dengan Sebayang, atau antara Kuta Buluh dengan Sebayang. Demikian juga di dalam merga Sembiring, antara Brahmana dengan Meliala, antara Pelawi dengan Depari, dan sebagainya.Larangan Perkawinan dengan orang dari luar merga (clan)-nya tidal dikenal, kecuali antara Sebayang dengan Sitepu, atau antara Sinulingga dengan Tekang, yang disebut sejanji atau berdasarkan sebuah perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, dimana mereka telah mengadakan perjanjian untuk tidak saling kawin-mengawini. Eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebagai hubungan geneakolongis, dan asal-usul sub merga tidak sama.

1. SENINA

Yang dimaksud dengan senina adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Se berarti satu, dan nina berarti kata atau pendapat, atau juga orang yang bersaudara.
Senina pada suku Karo terdiri atas :

a. Yang langsung (seh) ke Sukut

Sembuyak. Adalah orang-orang yang bersaudara kandung, satu kakek dari ayah, atau seterusnya menurut garis keturunan dari ayah.
Gamet/Senina Sikaku Ranan. Adalah orang-orang yang mempunyai merga yang sama, tetapi sub-merganya berbeda. Dalam musyawarah mereka biasanya menjadi Sikaku ranan (juru bicara).b. Yang berperantara (Erkelang) ke Sukut

Sepemeren. Adalah orang-orang yang bersaudara, baik ersenina ataupun erturang karena ibu mereka bersaudara, atau pun beru ibu mereka sama.
Separibanen. Adalah orang-orang yang bersaudara (ersenina) karena isteri mereka bersaudara (sembuyak) atau juga beru isteri mereka adalah sama.
Sepengalon. Yang menjadi senina sepengalon kita adalah keluarga dari kalimbubu suami anak perempuan kita.
Sendalanen. Adalah menantu laki-laki dari mama kita, atau orang yang mengawini impal kita.


2. ANAK BERU

Anak beru berarti anak perempuan, dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil isteri dari keluarga (merga) tertentu. Secara umum anak beru dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Anak Beru langsung, yang terdiri atas lima jenis (lapis) :

Anak Beru Angkip/Ampu, yaitu menantu (kela), atau suami dari anak kita, yang baru pertama sekali mengawini keluarga kita.
Anak Beru Dareh/Ipupus, yaitu anak dari bibi, atau anak dari turang kita.
Anak Beru Cekoh Baka, adalah anak beru yang telah mengawini keluarga tertentu sebanyak dua kali berturut-turut. Misalnya anak beru dareh mengawini impalnya.
Anak Beru Cekoh Baka Tutup, adalah anak beru yang telah mengawini keluarga tertentu sebanyak tiga kali berturut-turut. Misalnya anak beru cekoh baka mengawini impalnya.
Anak Beru Tua. Terdiri atas tiga bagian yaitu (a). Anak Beru Tua Jabu, adalah anak beru yang terlah mengawini keluarga tertentu sebanyak empat kali berturut-turut; (b). Anak Beru Tua Kesain, adalah anak beru yang ikut mendirikan kesain; (c). Anak Beru Tua Kuta, yaitu anak beru yang ikut mendirikan kuta.b. Anak Beru Erkelang, yaitu anak beru yang tidak langsung berhubungan keluarga tetapi dengan perantaraan orang tertentu, terdiri dari :

Anak Beru Sepemeren, yaitu anak beru dari senina sepemeren kita.
Anak Beru Menteri, adalah anak beru dari anak beru.
Anak Beru Singikuri, adalah anak beru dari anak beru menteri.
Anak Beru Singikuti, adalah anak beru dari anak beru singikuri.
Anak Beru Pengapit, adalah anak beru dari anak beru singikuti. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu.

kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:


Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi isteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.

Tugas Budya Kerja

Disusun

OLEH:

Nama: Ripka br sembiring Kelas:1-ap3

Tidak ada komentar: