Kamis, 11 September 2008

ulih

U L I H
Averiana Barus*


Hujan tampaknya tak perduli dengan perasaan Ulih. Dari tadi dia terus-menerus membanjiri hati Ulih tanpa kompromi. Hujan sore itu mengantarkannya pada kenangan lima belas tahun lalu ketika dia masih kecil. Ulih tak pernah sekolah. Ketika itu dia juga belum mengenal Lias.

###

Di kampungnya, yang kebanyakan hujan daripada kering itu, dia hanya memiliki beberapa teman. Selama ini ia hanya tinggal berdua dengan Karo, panggilan untuk neneknya. Mereka tinggal di gubuk dengan dua ruangan tanpa listrik dan gerbang serta jauh dari perkampungan penduduk apalagi dari kota. Mereka makan beras yang ditumbuk neneknya, makan ikan asin yang dibeli neneknya ketika ke pasar menjual hasil tani, makan sayur dan buah yang mereka tanam sendiri dan sekali-sekali makan ayam piaraan sendiri. Semua dilakukan sendiri. Tak terlalu butuh sabun. Mereka biasa menggantinya dengan daun kembang sepatu. Mereka tak pernah membutuhkan televisi. Satu-satunya barang elektronik yang ada hanyalah radio transistor tanpa gelombang FM yang jarang dipasang.

“Amai, panggil bibik ke rumah” pinta Karo dengan nafas tersengal-sengal. Tak ada waktu untuk Ulih bertanya ada apa dengan neneknya. Segera dia berlari dan berlari. Dia butuh beberapa puluh menit untuk sampai di perkampungan. Tentu dia harus melewati sungai selebar lima meter dengan berenang karena jembatan yang terbuat dari ikatan beberapa buah bambu hanyut terbawa arus.

Tak seorangpun kini memanggil dia “Amai”. Di sekitar gubuk rumput-rumput mulai tinggi. Tak ada lagi suara alu bertalu maupun suara nenek memanggil Jinggo, anjing kesayangan, dan kebiasaan-kebiasaan nenek lainnya. Belakangan beberapa orang yang akan ke ladang kerap singgah di gubuk hanya sekadar menengok Ulih dan mengantar beras, garam, gula, roti, dan sebagainya. Ulih tak ingin bicara. Hanya air matanya menyambut setiap kedatangan tamu. Sebagian dari mereka yang tak kuasa menyaksikan kepiluan Ulih mengajaknya untuk tinggal saja di kampung dengan mereka. Lagi-lagi Ulih hanya duduk kaku dan diam-diam bercengkrama dengan air mata.

Telah sebulan Ulih hidup dalam diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia tak pernah memanggil Jinggo untuk makan, menyapa kucing-kucing, dan membiarkan ayam-ayam makan sendiri. Malam itu satu hal memaksa Ulih bangun dan berteriak. Dalam mimpinya, sesosok raksasa mengerikan memukul giginya habis. Mulutnya penuh darah dan mukanya berubah kasar mengerikan.

Di luar Jinggo menyalak terus-terusan dan sekali-sekali mengaum. Ayam-ayam dan kucing ribut tak karuan. Segera Ulih tahu ada makhluk lain di luar sana. Lalu dia melakukan hal yang biasa dilakukan neneknya. Mengambil senapan angin milik kakek, mengikat kepalanya dengan kain putih, dan berucap sepenggal mantra. Segera setelah itu biasanya semuanya akan aman kembali. Namun hari ini lain. Anjing menyalak lebih keras, ayam dan kucing makin ribut. Dari celah-celah dinding Ulih melihat kobaran api di kandang ayam. Ulih sadar tak ada gunanya berteriak karena tak seorang pun akan mendengar. Dengan gesit Ulih membungkus barang-barang dengan kain sarung dan mengendap-endap lewat pintu belakang. Ulih tak tau persis itu pukul berapa. Malam itu gelap sekali. Tak sebuah pun bintang terlihat. Dari kejauhan dia memandangi gubuknya yang hampir habis terbakar. Sambil meneteskan air mata dia mendoa entah pada siapa. Dia memohon supaya ayam-ayam, kucing, anjing, dan tanaman yang dia tinggalkan tidak semenderita dirinya. Dalam doanya Ulih tertidur dan bangun ketika matahari mulai hangat. Di sampingnya Jinggo duduk kemudian menjilati muka tuannya seakan berbagi duka. Setelah bercengkrama beberapa lama mereka berjalan menuju perkampungan tanpa rasa takut. Kata nenek terang adalah teman paling baik. Terang melindungi mereka dari begu (hantu) satu-satunya makhluk yang paling dia takuti. Mereka berjalan dalam diam sampai sungai. Ulih sangat mencintai sungai. Dia suka menenggelamkan dirinya lama-lama lalu mengambil nafas sebentar saja dan tenggelam kembali. Itu dilakukannya berulang-ulang sehingga dia merasa lebih baik. Ingatlah Ulih bahwa telah lama dia tak mengajak Jinggo bermain. Ulih tak perduli dengan sinar matahari. Tanpa ampun matahari pagi membakar tubuh telanjangnya. Mereka bermain sampai matahari hampir tegak berdiri.

Jam segini tak seorang pun akan lewat sungai karena semua orang telah asyik bekerja di ladang atau sawah. Mereka meneruskan perjalanan melalui pematang sawah. Sawah di kampung mereka ramai betul dengan orang-orangan dan pelastik-pelastik pengusir burung atau tikus. Kuning tua padi seakan ternoda oleh warna-warna usang yang mereka pajang tanpa perasaan. Suara bambu berdetupan, pelastik, kaleng-kaleng bekas, dan suara manusia sahut-menyahut menghalau burung. Ulih merasa nyaman berada ditengah-tengah suasana seperti itu. Dia ingin turut tapi tak tahu harus ke pantaran siapa. Mereka terus berjalan saja.

Lewat tengah hari Ulih sampai di perkampungan dan bertemu temannya yang telah pulang sekolah. Mereka bermain. Ulih berbicara dan tertawa lagi. Jinggo dengan setia menunggui buntelan milik tuannya. Ulih dan Jinggo tak pernah kelaparan karena orang-orang di kampung selalu memasak makanan lebih. Sore akhirnya menjelang. Satu per satu temannya dijemput ibu mereka yang telah kembali dari ladang. Temannya akan berteriak setengah melagu bahagia: ”Sudah datang ibuku, sudah datang ibuku”. Mereka melagukannya berulang-ulang tanpa sadar dan memang tak harus sadar ada Ulih yang takkan dijemput ibunya. Mereka tinggal bertiga namun teman satunya mulai berteriak. ”Datang ibuku”. Ulih sedih teringat neneknya. Neneknya takkan menjemputnya. Tapi Ulih tak terlalu sendiri. Temannya yang terakhir dijemput ibunya akan mengajak Ulih tinggal di rumah mereka. Ulih tak punya pilihan walau sebenarnya ulih tak pernah tinggal bermalam di rumah selain gubuk neneknya. Malamnya Ulih akan ditanyai banyak hal lalu diajak tinggal saja dengan mereka. Ulih tak akan mau karena neneknya selalu berpesan jangan sekali-sekali menyusahkan orang lain. Demikian setiap hari Ulih mondok dari satu rumah ke rumah lain sampai satu hari Ulih memutuskan untuk pergi saja dari kampung itu.

Pagi-pagi ketika temannya pergi ke sekolah, seperti biasa Ulih akan berangkat ke sungai untuk mandi dan mencuci pakaiannya. Sambil menunggu kering mereka berlari-lari, tidur-tiduran, dan bernyanyi-nyanyi di atas tumpukan jerami bekas panen. Setelah itu dia akan mandi lagi, membalur tubuhnya dengan minyak ramuan neneknya. Sejak kecil tubuhnya selalu dibalur minyak hangat berbau khas. Ia lalu menyisir rambutnya sebelum akhirnya disimpul rapi-ulih selalu meyimpul bulat rambut legam panjangnya. Ulih berangkat pulang dengan menjunjung seember air sebagai ganti dia telah menginap dirumah temannya.

Dalam perjalanan Ulih bicara sepihak dengan Jinggo. Jinggo tak pernah tak mendengarkan Ulih. Tak tahu lagi harus bicara apa Ulih kemudian bercerita tentang Pemanggul Garam yang ditinggal kawin kekasihnya karena terlalu lama pergi, cerita Beru Dayang yang turun dari langit membawa padi sehingga mereka bisa makan, tentang Beru Putri Hijau yang cantik dan mengasihi keluarganya, dan semua cerita-cerita yang pernah diceritakan nenek Karo padanya. Ulih sampai lupa hari telah sore dan hujan mulai turun rintik-rintik. Ulih mulai takut karena dia belum juga menemukan kumpulan rumah-rumah beratap seng. Dalam perjalanannya ulih sering berpapasan dengan aron, sekumpulan ibu-ibu yang bekerja sama di ladang. ”Mau ke mana nak Ulih, sore begini kok jalan sendiri?” tanya mereka perduli tak perduli. Setelah mereka berlalu Ulih akan jongkok dan memeluk Jinggo serta menciuminya. Ulih merasa tak sendiri, ”Mengapa mereka tak melihat Jinggo?” tangisnya. Hari kini lebih sore hujan turun lebih merata. Ulih memilih duduk saja di bawah pohon sambil memeluk tubuh hangat Jinggo dan mereka seakan-akan menangis bersama. Ulih mulai butuh orang yang tak sekadar bertanya tapi mengajaknya pulang saja. Dari jauh Ulih melihat ibu muda dengan bayi di gendongan, ikatan kayu bakar di junjungan, keranjang yang dipenuhi dengan sayur segar dijinjingan, dan anak balita dituntunan. Ulih mengeraskan suara tangisnya berharap ibu ini akan mengasihinya. Mata mereka bertatapan. Ibu itu berhenti, meletakan keranjangnya, dan melemparkan ranting junjungannya. ”Nakku, di mana ibumu?” tanyanya. Tangis Ulih kini pecah. Ibu tadi memeluknya. ”Jangan nangis, nakku, ayo kita pulang.” Ibu mengajak Ulih dan Jinggo. Entah lupa atau sengaja dilupakan ranting tinggal.

###

Ulih merasa sesuatu hangat menjalari pingang kemudian perutnya. ”Hujan tak selalu sesedih itu, sayang.” Lias menempelkan pipinya ke pipi Ulih.

”Aku tak mengenalimu, Lias. Kau muncul dari belahan perut siapa?” tanya Ulih tanpa melihat Lias sedikit pun. ”Mengapa kau diam saja Lias, bohong kalau kau tak mendengarku”, tanya Ulih tak sabar.

”Aku dengar, sayang, tapi mengapa kau bertanya tentang belahan perut. Aku lahir dari lubang vagina ibuku yang sekarang kau panggil ibu juga”.

”Nenek bilang aku lahir dari perut ibuku, tapi tak tahu bagaimana rupanya, apakah wajahnya lebar dan panjang seperti wajahku, payudaranya montok seperti aku. Kau tahu darimana dia ibumu? Bukankah ketika itu kau masih kecil. Dia menyuruhmu memanggilnya ibu, maka kau panggil?”

”Sayang, kau lihat mawar itu, hujan tak hujan wangi tetap miliknya. Kalau hujan bicaramu selalu ngelantur. Ayo dong jangan murung begitu”.

###

Tahulah Ulih bahwa mereka akan tinggal di Rumah Galang-rumah besar yang penghuninya delapan keluarga, ruangannya tanpa sekat, berbentuk panggung, dan dapur mereka berhadap-hadapan. Segera Ulih akan tahu tetangganya masak masakan apa, ayah siapa saja tak pulang malam ini, siapa memusuhi siapa, keluarga mana saja yang paling ribut dan sebagainya. Ulih tak tahu dia betah atau tidak tapi dia mulai menyayangi kedua adik angkatnya. Ibu mereka jarang sekali bicara dengan tetangga. Tak jarang ibu-ibu yang lain berbicara keras-keras sambil melirik-lirik ke arah mereka. Ibunya akan segera menyuruh Ulih mengambil atau bertanya sesuatu. Setelah berbulan-bulan Ulih tinggal di sana seorang laki-laki yang belum pernah ia lihat muncul dan menyingkirkannya dari tempat tidur mereka satu-satunya.

###

”Tahu kah kamu, kakek punya tiga jabu (rumah, keluarga). Nah, bik Piah itu anak kakek dari Rumah Gugung”. Ketika itu Ulih hanya iya iya saja. dia tak tahu apa-apa.

”Dari rumah ini kok engga ada bibik, Karo?” tanya Ulih polos.
”Amai, tak semua rumah harus punya bibik. Dari Rumah Gugung ada bapak tua, karena dia anak laki-laki kakek paling besar. Di rumah ini nenek punya jagoan, ayahmu.

###

Lama Ulih tak mengerti maksud neneknya. Belakangan ia tahu kakeknya berpoligami. Tapi ketiga nenek-neneknya itu yang terdiri dari Nek Karo, Nek Tigan, dan Nek Biring akur-akur saja. Nek Biring yang merupakan madu neneknya dulu jika tanggal muda sering berkunjung ke gubuk mereka mengantarkan gula atau minyak kelapa. Tahulah Ulih sekarang uang pembeliannya dari veteran kakek. Sekarang ibu angkatnya rupanya juga sama dengan neneknya. Hanya ibu angkatnya tak akur dengan madu-madunya yang lain. Ulih jarang berbicara dengan ibu angkatnya. Ulih tahu banyak dari omongan-omongan tetangganya.
###

Belakangan ”Ayah” angkatnya sering tinggal di rumah mereka. Itu sangat mengganggu hubungan tak akrab Ulih dengan ibunya. Ibunya semakin jarang bicara, jarang tersenyum, tak pernah mendongeng, bahkan setiap pagi menangis tersedu-sedu sambil masak. Ayah mereka tak sekalipun pernah menemani mereka ke ladang. Dari rumah mereka berangkat bersama tapi ayah akan berhenti di kedai kopi. Ibu diam saja lalu beberapa meter setelah itu dia mulai meneteskan air mata.

Ulih makin lama makin banyak belajar. Belajar membaca dan menulis dari adiknya, belajar menari dari tetangganya, dan belajar menyulam dari ibunya.

###

”Ulih, tak ada yang menyangkal kecantikanmu. Bahkan ketika matamu terus menerus basah dan hidungmu mematang.” Lias, suaminya berkali-kali mengusapi air mata istrinya yang telah berjam-jam berdiri saja di teras loteng mereka.

”Dengan kau menikahiku seratus kali lagi, memujiku sejuta kali lagi, aku belum akan memaafkan perbuatan orangtuamu dan saudara-saudaramu,” tukas Ulih dingin. Ulih tahu suaminya tak pernah menghendaki kata-kata itu keluar dari mulut istrinya yang mungil. Namun Ulih sepanjang waktu sadar kata-kata itu perlu diutarakannya. Tahulah suaminya dua tahun pernikahan mereka membuat istrinya tersiksa.

”Aku benar-benar ingin bertanya padamu, Lias. Kemana Piah, ibumu, yang juga bibiku lima belas tahun lalu. Lima belas tahun yang lalu juga ayahmu tanpa belas kasihan membakar gubuk satu-satunya tempatku hidup. Ibumu picik sekali menikahkanmu denganku hanya karena tak ingin kehilangan keponakannya lebih lama. Lias, aku ingi bercerai darimu!” Bisa itu telah benar-benar keluar dari mulut Ulih.

”Ulih, kekasih hati dan jiwaku, aku menikah denganmu karena aku mencintaimu, bukan karena orangtuaku. Mengapa kau begitu kejam hari ini?” Suaminya mulai menitik air mata tapi Ulih sama sekali tak perduli.

”Hujan akan selalu mengantarkanku lagi, lagi, dan lagi pada lima belas tahun lalu, kemudian enam belas tahun, dua puluh tahun, empat puluh tahun..... kau takkan bisa menghentikanku”

”Aku ikut denganmu, Ulih”
”Aku tak hanya akan membakar rumahmu, tapi juga kedua orangtuamu.”
”Kau ingin aku mengajarimu bagaimana caranya?”

Seperempat jam mereka telah saling berpandangan tanpa tahu harus berbuat apa.

^@$@$@&$&

Tidak ada komentar: